❖❧ ❦❧
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ
الْيَمَانِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ «كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ –
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَبَالَ، وَتَوَضَّأَ، وَمَسَحَ عَلَى
خُفَّيْهِ»
“Dari
Hudzaifah ibnul Yaman_radhiyallahu ‘anhu, ia bekata: “Aku bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pergi buang air kecil, berwudhu,
dan mengusap sepatunya.” [disebutkan penulis_rahimahullah secara
ringkas]
▐▐ Peringatan▐▐:
Hadits
Hudzaifah dengan lafazh yang disebutkan oleh penulis_rahimahullah tidak
terdapat dalam Shahih Al Bukhari maupun Shahih Muslim. Namun lafazh ini
lebih mendekati kepada lafazh Shahih Muslim, dengan lafazh:
عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ:
«كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى
سُبَاطَةِ قَوْمٍ، فَبَالَ قَائِمًا» فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ: «ادْنُهْ»
فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ «فَتَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى
خُفَّيْهِ»
“Aku
pernah berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, saat kami
sampai di suatu tempat pembuangan sampah suatu kaum, beliau buang air
kecil sambil berdiri, maka aku pun menjauh dari tempat tersebut. Setelah
itu beliau bersabda: ‘Kemarilah.’ Aku pun menghampiri beliau hingga aku
berdiri di samping kedua tumitnya. Beliau lalu berwudhu dengan mengusap
atas sepasang sepatu beliau.”
✔ Faedah yang terdapat dalam hadits:
①.
Disyariatkan mengusap sepatu disaat sedang safar, baik safarnya dalam
jarak dekat maupun jauh, karena hadits berlafazh umum. Ini adalah
pendapat Ibnu Hazem, Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Pendapat ini
dipilih pula oleh Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
✖ Masalah: Apakah boleh mengusap sepatu meskipun safarnya dalam rangka kemaksiatan?
✔
Pendapat yang terpilih adalah dia tetap mendapat keringanan untuk dapat
mengusap sepatunya, karena hadits bersifat umum, mencakup semua jenis
safar. Hanya saja dia berdosa dengan kemaksiatannya. Ini adalah pendapat
Abu Hanifah dan Azh Zhahiriyah dan yang lainnya. Pendapat ini dipilih
oleh Ibnu Hazem dan Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
✖ Masalah: Apakah ada batasan waktu dibolehkan untuk orang muqim (menetap) dan musafir mengusap sepatu?
✔ Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat;
① Pendapat pertama: tidak ada batasan, kapan dia mau mengusap maka boleh-boleh saja. Ini adalah pendapat Asy Sya’bi, Abu Salamah bin Abdirrahman, Imam Malik, dan yang lainnya. Mereka berdalil dengan hadits Ubay bi ‘Imarah, ia berkata:
✔ Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat;
① Pendapat pertama: tidak ada batasan, kapan dia mau mengusap maka boleh-boleh saja. Ini adalah pendapat Asy Sya’bi, Abu Salamah bin Abdirrahman, Imam Malik, dan yang lainnya. Mereka berdalil dengan hadits Ubay bi ‘Imarah, ia berkata:
«يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمْسَحُ
عَلَى الْخُفَّيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: يَوْمًا؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ:
وَيَوْمَيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ؟ قَالَ: نَعَمْ،
وَمَا شِئْت».
“Wahai
Rasulullah, apakah aku boleh mengusap kedua khuf? Beliau menjawab:
“Boleh.” Dia bertanya lagi; Satu hari? Beliau menjawab: “Ya, satu hari.”
Dia bertanya lagi; Dua hari? Beliau menjawab: “Ya, dua hari.” Dia
bertanya lagi; Tiga hari? Beliau menjawab: “Ya, sesukamu!” [HR. Abu
Dawud, dilemahkan oleh Syaikh Al Albani]
Berdalil juga dengan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir_radhiyallahu anhu:
“Uqbah
bin ‘Amir datang dari Mesir menemui Umar Ibnul Khaththab, berkata Umar:
Sejak kapan kamu tidak melepas kedua sepatumu? ‘Uqbah menjawab: sejak
hari jumat ke juma’at berikutnya”. Umar berkata: “Engkau telah mencocoki
sunnnah”. [HR. Ad Daruquthni, dilemahkan oleh Syaikh Al Albani]
②
Pendapat kedua: Syariat mengusap sepatu ada batasan waktunya. Untuk
muqim sehari semalam, sedangkan untuk musafir tiga hari tiga malam. Ini
adalah pendapat jumhur ulama. Dalil mereka hadits Ali bin Abi
Thalib_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;
«جَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ
لِلْمُسَافِرِ، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ»
“‘Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan waktu tiga hari dan
malamnya bagi musafir (untuk mengusap khuf) dan sehari semalam bagi
orang yang muqim.” [HR. Muslim]
✔✔✔
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat ini dipilih
oleh Ulama kibar dizaman kita, seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Al Albani,
Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil, dan yang lainnya termasuk, didalamnya
Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
✖ Masalah: Kapan mulai penghitungannya?
✔ Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini;
① Pendapat perrtama: Batasan ini terhitung mulai dari dia berhadats atau batal wudhunya. Jika dia berhadats pada jam delapan pagi, maka batasan waktu dihitung mulai dari jam delapan pagi.
② Pendapat kedua: Batasan ini terhitung mulai dari awal dia mengusap sepatu setelah berhadats. Jika dia telah berwudhu, terus berhadats pada jam sebelas siang, kemudian dia berwudhu kembali pada jam dua belas dengan mengusap sepatunya pada jam tersebut. Maka hitungannya dimulai dari jam duabelas siang. Ini adalah pendapat Al Auza’i, Abu Tsaur, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Asy Syinqithi, Syaikh Al Albani, Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan juga Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
① Pendapat perrtama: Batasan ini terhitung mulai dari dia berhadats atau batal wudhunya. Jika dia berhadats pada jam delapan pagi, maka batasan waktu dihitung mulai dari jam delapan pagi.
② Pendapat kedua: Batasan ini terhitung mulai dari awal dia mengusap sepatu setelah berhadats. Jika dia telah berwudhu, terus berhadats pada jam sebelas siang, kemudian dia berwudhu kembali pada jam dua belas dengan mengusap sepatunya pada jam tersebut. Maka hitungannya dimulai dari jam duabelas siang. Ini adalah pendapat Al Auza’i, Abu Tsaur, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Asy Syinqithi, Syaikh Al Albani, Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan juga Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
✔✔✔
Ini adalah pendapat yang kuat dan terpilih. Karena zhahir hadits adalah
kapan dia mulai mengusap maka disitulah mulai dihitung. Wallahu a’lam.
✖ Masalah: Jika batasan waktu telah habis, apakah batal wudhunya?
✔✔✔
Pendapat yang kuat dan terpilih adalah tidak batal wudhunya selama dia
belum berhadats disaat datang masa akhir dia mengusap. Misalnya dia
muqim, mulai dia mengusap pertama kali pada jam tujuh pagi, kemudia
besok harinya ketika jam setengah tujuh pagi dia berwudhu, maka ketika
lewat jam tujuh pagi wudhunya belum batal sampai zhuhur, maka boleh dia
sholat zhuhur dengan wudhu tersebut. Adapun setelah itu jika dia
berhadats, maka tidak boleh bagi dia mengusap sepatuntya. Bahkan wajib
bagi dia membasuh kakinya jika ingin berwudhu kembali. Ini adalah
pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan juga
Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
②.
Apabila dia berhadats dari hadats yg kecil, seperti kencing atau tidur
atau yang lainnya, maka boleh bagi dia tetap mengusap sepatunya selama
batasan waktu mengusap belum habis. Namun apabila dia tertimpa janabah,
maka wajib bagi dia melepas sepatunya, meskipun masa waktu mengusap
belum habis. Ini adalah perkara yang tidak diperselisihkan dikalangan
para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Shafwan bin
‘Assal_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لاَ
نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، إِلاَّ مِنْ
جَنَابَةٍ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ»
“Jika
kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan agar kami tidak membukanya selama tiga hari tiga malam
kecuali ketika kami junub. Dan tetap boleh untuk mengusapnya karena
buang air besar, buang air kecil dan tidur.” [HR. At Tirmidzi dan An
Nasai, dishahihkan oleh Sayikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]
✖ Masalah: bolehkah mengusap kaos kaki?
✔
Kaos kaki yang menutup mata kaki maka hukumnya hukum sepatu, boleh bagi
dia mengusapnya jika sebelum memakainya dalam keadaan wudhu yang
sempurna yaitu dengan mencuci kaki. Ini adalah pendapat yang dipilih
oleh Ibnu Hazem, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Al Albani, Syaikh
Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan Syaikhuna Abdurahman Al
‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala. Dalil mereka diantaranya hadits
Tsauban_radhiyallahu ‘anhu, ia berkjata;
((بَعَثَ سَرِيَّةً
فَأَصَابَهُمُ الْبَرْدُ فَلَمَّا قَدِمُواrرَسُولُ اللَّهِ أَمَرَهُمْ
أَنْ يَمْسَحُوا عَلَى الْعَصَائِبِrعَلَى رَسُولِ اللَّهِ
وَالتَّسَاخِينِ))
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus satu pasukan (untuk
berperang tanpa diikuti beliau), lalu mereka diliputi cuaca dingin. Maka
setelah mereka datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau memerintahkan supaya mereka mengusap sorban dan
tasakhin mereka. [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkam oleh Syaikh Al
Albani dan Syaikh Muqbil]
✍ Kalimat Tasakhin dalam bahasa Arab mencakup juga kaos kaki.
✖ Masalah: Hukum mengusap sarung tangan dan burqa’ (cadar/penutup muka)
✔ Berkata Al Imam An Nawawi: “Para ulama sepakat bahwa tidak boleh mengusap kaos tangan dan cadar.”
✖ Masalah: Hukum mengusap perban yang membalut luka?
✔ Telah datang hadits ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata;
انْكَسَرَتْ إِحْدَى
زَنْدَيَّ، فَسَأَلْتُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
«فَأَمَرَنِي أَنْ أَمْسَحَ عَلَى الْجَبَائِرِ»
“Salah
satu lengan tanganku retak, maka aku tanyakan hal itu kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau memerintahkan kepadaku
agar mengusap bagian atas kain pembalut luka.” [HR. Ibnu Majah,
dilemahkan oleh Syaikh Al Albani, bahwa hadits ini lemah sekali]
✔
Karena tidak adanya hadits yang shahih maka tidak disyariatkan untuk
bertayamum ataupun mengusap perbannya disaat berwudhu. Cukup bagi dia
berwudhu dengan membasuh anggota wudhu yang bisa dibasuh. Adapun perban
tersebut tidak perlu diusap. Ini adalah pendapat yang dilih oleh Ibnu
Hazem, Syaikh Al Albani, Syaikh Muqbil, dan Syaikhuna Abdurahman Al
‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
Wallahul muwaffiq ilash shawab
[✏
ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_20 Rabi'ul Awal
1435/21 Jan. 2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]
▬ ♦ ◊ ♦ ▬
Sumber : http://www.darussalaf.or.id/fiqih/faedah-faedah-fiqhiyah-dari-kitab-umdatul-ahkam-hadits-ke-22/