Selasa, 15 April 2014

FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM HADITS KEDUAPULUH DUA

❖❧ ❦❧
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ «كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَبَالَ، وَتَوَضَّأَ، وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ»
“Dari Hudzaifah ibnul Yaman_radhiyallahu ‘anhu, ia bekata: “Aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pergi buang air kecil, berwudhu, dan mengusap sepatunya.” [disebutkan penulis_rahimahullah secara ringkas]
▐▐ Peringatan▐▐:
Hadits Hudzaifah dengan lafazh yang disebutkan oleh penulis_rahimahullah tidak terdapat dalam Shahih Al Bukhari maupun Shahih Muslim. Namun lafazh ini lebih mendekati kepada lafazh Shahih Muslim, dengan lafazh:
عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: «كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ، فَبَالَ قَائِمًا» فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ: «ادْنُهْ» فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ «فَتَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ»
“Aku pernah berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, saat kami sampai di suatu tempat pembuangan sampah suatu kaum, beliau buang air kecil sambil berdiri, maka aku pun menjauh dari tempat tersebut. Setelah itu beliau bersabda: ‘Kemarilah.’ Aku pun menghampiri beliau hingga aku berdiri di samping kedua tumitnya. Beliau lalu berwudhu dengan mengusap atas sepasang sepatu beliau.”
✔ Faedah yang terdapat dalam hadits:
①. Disyariatkan mengusap sepatu disaat sedang safar, baik safarnya dalam jarak dekat maupun jauh, karena hadits berlafazh umum. Ini adalah pendapat Ibnu Hazem, Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Pendapat ini dipilih pula oleh Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
✖ Masalah: Apakah boleh mengusap sepatu meskipun safarnya dalam rangka kemaksiatan?
✔ Pendapat yang terpilih adalah dia tetap mendapat keringanan untuk dapat mengusap sepatunya, karena hadits bersifat umum, mencakup semua jenis safar. Hanya saja dia berdosa dengan kemaksiatannya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Azh Zhahiriyah dan yang lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Hazem dan Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
✖ Masalah: Apakah ada batasan waktu dibolehkan untuk orang muqim (menetap) dan musafir mengusap sepatu?
✔ Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat;
① Pendapat pertama: tidak ada batasan, kapan dia mau mengusap maka boleh-boleh saja. Ini adalah pendapat Asy Sya’bi, Abu Salamah bin Abdirrahman, Imam Malik, dan yang lainnya. Mereka berdalil dengan hadits Ubay bi ‘Imarah, ia berkata:
«يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمْسَحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: يَوْمًا؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَيَوْمَيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَمَا شِئْت».
“Wahai Rasulullah, apakah aku boleh mengusap kedua khuf? Beliau menjawab: “Boleh.” Dia bertanya lagi; Satu hari? Beliau menjawab: “Ya, satu hari.” Dia bertanya lagi; Dua hari? Beliau menjawab: “Ya, dua hari.” Dia bertanya lagi; Tiga hari? Beliau menjawab: “Ya, sesukamu!” [HR. Abu Dawud, dilemahkan oleh Syaikh Al Albani]
Berdalil juga dengan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir_radhiyallahu anhu:
“Uqbah bin ‘Amir datang dari Mesir menemui Umar Ibnul Khaththab, berkata Umar: Sejak kapan kamu tidak melepas kedua sepatumu? ‘Uqbah menjawab: sejak hari jumat ke juma’at berikutnya”. Umar berkata: “Engkau telah mencocoki sunnnah”. [HR. Ad Daruquthni, dilemahkan oleh Syaikh Al Albani]
② Pendapat kedua: Syariat mengusap sepatu ada batasan waktunya. Untuk muqim sehari semalam, sedangkan untuk musafir tiga hari tiga malam. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dalil mereka hadits Ali bin Abi Thalib_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;
«جَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ»
“‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan waktu tiga hari dan malamnya bagi musafir (untuk mengusap khuf) dan sehari semalam bagi orang yang muqim.” [HR. Muslim]
✔✔✔ Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat ini dipilih oleh Ulama kibar dizaman kita, seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Al Albani, Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil, dan yang lainnya termasuk, didalamnya Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
✖ Masalah: Kapan mulai penghitungannya?
✔ Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini;
① Pendapat perrtama: Batasan ini terhitung mulai dari dia berhadats atau batal wudhunya. Jika dia berhadats pada jam delapan pagi, maka batasan waktu dihitung mulai dari jam delapan pagi.
② Pendapat kedua: Batasan ini terhitung mulai dari awal dia mengusap sepatu setelah berhadats. Jika dia telah berwudhu, terus berhadats pada jam sebelas siang, kemudian dia berwudhu kembali pada jam dua belas dengan mengusap sepatunya pada jam tersebut. Maka hitungannya dimulai dari jam duabelas siang. Ini adalah pendapat Al Auza’i, Abu Tsaur, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Asy Syinqithi, Syaikh Al Albani, Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan juga Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
✔✔✔ Ini adalah pendapat yang kuat dan terpilih. Karena zhahir hadits adalah kapan dia mulai mengusap maka disitulah mulai dihitung. Wallahu a’lam.
✖ Masalah: Jika batasan waktu telah habis, apakah batal wudhunya?
✔✔✔ Pendapat yang kuat dan terpilih adalah tidak batal wudhunya selama dia belum berhadats disaat datang masa akhir dia mengusap. Misalnya dia muqim, mulai dia mengusap pertama kali pada jam tujuh pagi, kemudia besok harinya ketika jam setengah tujuh pagi dia berwudhu, maka ketika lewat jam tujuh pagi wudhunya belum batal sampai zhuhur, maka boleh dia sholat zhuhur dengan wudhu tersebut. Adapun setelah itu jika dia berhadats, maka tidak boleh bagi dia mengusap sepatuntya. Bahkan wajib bagi dia membasuh kakinya jika ingin berwudhu kembali. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan juga Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
②. Apabila dia berhadats dari hadats yg kecil, seperti kencing atau tidur atau yang lainnya, maka boleh bagi dia tetap mengusap sepatunya selama batasan waktu mengusap belum habis. Namun apabila dia tertimpa janabah, maka wajib bagi dia melepas sepatunya, meskipun masa waktu mengusap belum habis. Ini adalah perkara yang tidak diperselisihkan dikalangan para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Shafwan bin ‘Assal_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لاَ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ»
“Jika kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kami tidak membukanya selama tiga hari tiga malam kecuali ketika kami junub. Dan tetap boleh untuk mengusapnya karena buang air besar, buang air kecil dan tidur.” [HR. At Tirmidzi dan An Nasai, dishahihkan oleh Sayikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]
✖ Masalah: bolehkah mengusap kaos kaki?
✔ Kaos kaki yang menutup mata kaki maka hukumnya hukum sepatu, boleh bagi dia mengusapnya jika sebelum memakainya dalam keadaan wudhu yang sempurna yaitu dengan mencuci kaki. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazem, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Al Albani, Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala. Dalil mereka diantaranya hadits Tsauban_radhiyallahu ‘anhu, ia berkjata;
((بَعَثَ  سَرِيَّةً فَأَصَابَهُمُ الْبَرْدُ فَلَمَّا قَدِمُواrرَسُولُ اللَّهِ   أَمَرَهُمْ أَنْ يَمْسَحُوا عَلَى الْعَصَائِبِrعَلَى رَسُولِ اللَّهِ  وَالتَّسَاخِينِ))
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus satu pasukan (untuk berperang tanpa diikuti beliau), lalu mereka diliputi cuaca dingin. Maka setelah mereka datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau memerintahkan supaya mereka mengusap sorban dan tasakhin mereka. [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkam oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]
✍ Kalimat Tasakhin dalam bahasa Arab mencakup juga kaos kaki.
✖ Masalah: Hukum mengusap sarung tangan dan burqa’ (cadar/penutup muka)
✔ Berkata Al Imam An Nawawi: “Para ulama sepakat bahwa tidak boleh mengusap kaos tangan dan cadar.”
✖ Masalah: Hukum mengusap perban yang membalut luka?
✔ Telah datang hadits ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata;
انْكَسَرَتْ إِحْدَى زَنْدَيَّ، فَسَأَلْتُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «فَأَمَرَنِي أَنْ أَمْسَحَ عَلَى الْجَبَائِرِ»
“Salah satu lengan tanganku retak, maka aku tanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau memerintahkan kepadaku agar mengusap bagian atas kain pembalut luka.” [HR. Ibnu Majah, dilemahkan oleh Syaikh Al Albani, bahwa hadits ini lemah sekali]
✔ Karena tidak adanya hadits yang shahih maka tidak disyariatkan untuk bertayamum ataupun mengusap perbannya disaat berwudhu. Cukup bagi dia berwudhu dengan membasuh anggota wudhu yang bisa dibasuh. Adapun perban tersebut tidak perlu diusap. Ini adalah pendapat yang dilih oleh Ibnu Hazem, Syaikh Al Albani, Syaikh Muqbil, dan Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
Wallahul muwaffiq ilash shawab
[✏ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_20 Rabi'ul Awal 1435/21 Jan. 2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]
▬ ♦ ◊ ♦ ▬
Sumber : http://www.darussalaf.or.id/fiqih/faedah-faedah-fiqhiyah-dari-kitab-umdatul-ahkam-hadits-ke-22/

Apakah kumpulan mushaf yang kita sebut sekarang Al-Qur’an itu bid’ah?


(Dijawab oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi)
 Pengumpulan mushaf di zaman ‘Utsman bukanlah termasuk bid’ah. Walaupun di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum ada pengumpulan mushaf tersebut, namun kondisi di zaman ‘Utsman sangat menuntut untuk dikumpulkannya mushaf. ‘Utsman sendiri telah didahului oleh Abu Bakr di zamannya, para sahabat pun waktu itu sepakat. Sehingga hal ini adalah ijma’ atau kesepakatan para sahabat. Dan sesuatu yang disepakati para sahabat tentu bukan termasuk bid’ah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru memerintahkan untuk kita mengikuti mereka sebagaimana sabdanya:
 فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (Shahih, HR. Abu Dawud)
Di zaman Abu Bakr, semua sahabat sepakat, termasuk ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali. Sedangkan di zaman ‘Utsman, para sahabat yang ada juga bersepakat, termasul ‘Ali.
Demikianlah. Ijma’ merupakan salah satu landasan agama, sebagaimana dijelaskan para ulama berdasarkan dalil dari ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَجَارَ أُمَّتِي أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلَالَةٍ
“Sesungguhnya Allah telah melindungi umatku untuk sepakat dalam kesesatan.” (Shahih, HR. Adh-Dhiya’ dalam Al-Mukhtarah)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menceritakan sejarah pengumpulan Al-Qur’an:
Zaid bin Tsabit Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu -beliau termasuk salah seorang penulis wahyu- berkata:  Abu Bakr mengutus kepadaku (utusan untuk memanggilku setelah) pembantaian oleh penduduk Yamamah. Umar berada di sisinya. Lalu Abu Bakr mengatakan: “Sesungguhnya pembunuhan telah memakan korban banyak manusia pada peperangan Yamamah. Aku khawatir akan banyak pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur’an di banyak tempat, sehingga banyak yang hilang dari Al-Qur’an, kecuali bila kalian mengumpulkannya. Sungguh aku memandang agar engkau kumpulkan Al-Qur’an.”
Abu Bakr mengatakan: “Aku katakan kepada Umar, ‘Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!’ Maka Umar menjawab: ‘Itu, demi Allah, baik.’ Maka Umar terus mengulang-ulangi hal itu kepadaku, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala lapangkan dadaku untuk itu dan aku memandang sebagaimana pandangan Umar.
Zaid mengatakan: Umar duduk di sisi Abu Bakr dan tidak berbicara. Abu Bakr lalu mengatakan: “Sesungguhnya engkau (wahai Zaid) adalah seorang yang masih muda, lagi cerdas dan kami tidak curiga kepadamu. Engkau dahulu ikut menulis wahyu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka telusurilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.”
Zaid mengatakan: “Maka demi Allah, seandainya Abu Bakr membebani aku untuk memindahkan salah satu gunung, itu tidak lebih berat bagiku daripada perintahnya kepadaku untuk mengumpulkan Al-Qur’an.”
Aku katakan: “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi?” Maka Abu Bakr mengatakan: “Itu, demi Allah, baik.”
 Maka aku terus berdiskusi dengannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala lapangkan dadaku untuk apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lapangkan untuknya dada Abu Bakr dan Umar. Aku pun bangkit sehingga aku telusuri Al-Qur’an. Aku kumpulkan dari lembaran, potongan tulang, pelepah kurma, dan dada-dada manusia. Sehingga aku dapatkan dua ayat dari surat At-Taubah bersama Khuzaimah Al-Anshari, yang aku tidak dapati keduanya pada seorang pun selain dia:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu…” (At-Taubah: 128-129) sampai akhir kedua ayat.
Dahulu lembaran-lembaran yang dikumpulkan padanya Al-Qur’an bersama Abu Bakr sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala wafatkan beliau. Lalu lembaran-lembaran itu bersama Umar sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala wafatkan dia, lalu lembaran-lembaran tersebut bersama Hafshah bintu Umar.
Hudzaifah Ibnul Yaman mendatangi Utsman. Waktu itu, dia membantu penduduk Syam berperang membuka daerah Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Irak. Maka perselisihan mereka dalam bacaan (Al-Qur’an) telah membuat Hudzaifah takut, sehingga beliau mengatakan kepada Utsman: “Wahai Amirul Mukminin, segera selamatkan umat ini sebelum mereka berselisih dalam Al-Qur’an seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani.” Maka Utsman mengutus utusan kepada Hafshah: “Kirimkanlah kepada kami lembaran-lembaran (kumpulan Al-Qur’an) untuk kami salin dalam mushaf, lalu kami kembalikan kepadamu.” Maka Hafshah mengirimkannya kepada Utsman, lalu beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id Ibnu Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, untuk menyalinnya di mushaf-mushaf. Lalu Utsman mengatakan kepada tiga orang Quraisy tersebut, ‘Bila kalian berbeda dengan Zaid bin Tsabit pada sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan bacaan Quraisy, karena Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka.” Maka mereka melakukannya. Ketika mereka telah selesai menyalin lembaran-lembaran itu di mushaf-mushaf, ‘Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Beliau kemudian mengirimkan ke tiap penjuru satu mushaf dari yang mereka salin, lalu beliau memerintahkan agar Al-Qur’an selainnya baik lembaran atau mushaf untuk dibakar.
Asy-Syatibi mengatakan: “Banyak orang menganggap bahwa mayoritas maslahat mursalah [1] sebagai bid’ah, lalu mereka menyandarkan bid’ah ini kepada para sahabat dan tabi’in. Kemudian mereka menjadikan hal ini sebagai hujjah untuk membenarkan ibadah yang mereka buat-buat… (lalu beliau memberikan beberapa contoh, di antaranya) bahwa para sahabat sepakat untuk mengumpulkan Al-Qur’an padahal tidak ada nash (dalil) yang jelas dalam hal mengumpulkan Al-Qur’an dan menulisnya. Bahkan sebagian sahabat mengatakan: ‘Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?’ … Akan tetapi mereka melihat adanya maslahat yang sesuai dengan tindakan-tindakan syariat yang pasti, karena pengumpulan itu kembalinya kepada penjagaan syariat. Sementara perintah untuk menjaga syariat itu sesuatu yang sangat diketahui. Hal itu juga menutup jalan menuju perselisihan dalam Al-Qur’an.” (Al-I’tisham)

Footnote:
[1] Suatu maslahat yang tidak dianjurkan dengan nash syariat secara tegas dan jelas, namun tidak juga dilarang.