Ustadz Luqman Jamal , Lc.
PERTANYAAN
Banyak di antara kaum muslimin yang terjerumus ke dalam kesyirikan
dengan melakukan amalan-amalan tertentu yang mereka anggap sebagai
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, padahal justru merupakan
sebab-sebab kesyirikan. Oleh sebab itu, kami memohon penjelasannya,
mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada kita dan mereka!
JAWABAN
Mengetahui sebab-sebab terjadinya kesyirikan adalah perkara yang
sangat penting dalam rangka menghindarkan diri dengan sejauh-jauhnya
darinya, sebab kesyirikan adalah dosa yang terbesar, karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala
telah mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni pelaku
kesyirikan bila tidak bertaubat. Hal ini mewajibkan seorang hamba untuk
berhati-hati dan sangat takut kepada-Nya, dan membawanya untuk
mengetahui dan menjauhi kesyirikan, karena sesungguhnya kesyirikan
adalah sejelek-jelek perkara dan kezhaliman yang paling besar. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang paling besar.” [ Luqman: 13 ]
Sebab-sebab kesyirikan sangatlah banyak, dan yang akan disebutkan
adalah pokok-pokoknya, yang dari pokok-pokok inilah kemudian sebab-sebab
itu bercabang-cabang. Pokok-pokok itu antara lain:
Berlebih-Lebihan Dalam Memuji
Pertama, Berlebih lebihan dalam memuji Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, padahal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari hadits ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu,
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian Ithra`
kepadaku sebagaimana orang-orang Nashara Ithra`
terhadap ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Ithra` adalah melampaui batas dalam memuji. Jadi, maksud
hadits di atas adalah “Janganlah kalian memujiku dengan melampaui batas
sebagaimana Nashara telah berlebih-lebihan dalam memuji ‘Isa bin Maryam
sampai mereka mengangkatnya sebagai
Ilah yang patut disembah, tetapi sifatilah saya sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyifati saya dalam Al Qur`an,
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab
(Al Qur`an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” [
Al-Kahfi: 1 ] ”
Akan tetapi orang-orang musyrikin dari dahulu sampai sekarang tidak mau kecuali menyelisihi perintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
dan melanggar larangannya. Mereka mengagungkan beliau secara berlebihan
dan melakukan hal-hal yang beliau telah melarang dan memperingatkan
umatnya dari hal tersebut, yaitu berlebihan dalam mengagungkan beliau.
Mereka menyerupai orang-orang Nashara yang berlebihan dalam memuji
nabinya. Di antara bentuk kesyirikan dari jenis ini adalah syair Al
Bushiry di dalam
Al-Burdah . Dia berkata,
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعُمَمِ
“Wahai Makhluk yang paling mulia, kepada siapa saya memohon perlindungan, kecuali kepadamu jika terjadi musibah yang besar.”
Lalu perkataannya yang lain,
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ الْلَوْحِ وَالْقَلَمِ
“Sesungguhnya dari kemuliaanmu lahir dunia dan pasangannya (akhirat) dan termasuk dari ilmumu ilmu Lauh Mahfudz
dan Al-Qalam
.”
Bait-bait syair seperti ini mengandung doa, permintaan dan perlindungan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Juga berisi permintaan agar dihilangkan kesempitan hidup, kesengsaraan serta kerusakan dari penulisnya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dan melupakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini bisa terjadi karena syaitan menghias-hiasi perbuatan mereka. Syaithan menampakkan kepada mereka, bahwa
ghuluw ‘berlebih-lebihan’ dalam memuji Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam,
walaupun hal itu merupakan syirik akbar, adalah dalam rangka mencintai
dan memuji Nabi. Dia juga menampakkan bahwa berpegang teguh kepada
sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu
tidak berlebihan dalam memujinya merupakan perbuatan membenci,
mengurangi hak, enggan untuk bershalawat, dan tidak memuliakan beliau
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Allahu Musta’an .
Kedua, Berlebih-lebihan dalam memuji orang-orang shalih.
Jika berlebih-lebihan dalam memuji Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
saja terlarang, maka berlebih-lebihan kepada selain beliau, seperti
orang-orang shalih, jelas lebih terlarang lagi. Hal inilah yang
merupakan penyebab kesyirikan pertama pada umat manusia, yaitu pada umat
Nabi Nuh
‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur`an,
“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa`, Yaghuts, Ya`uq
dan Nasr.’.” [
Nuh: 23 ]
Imam Bukhary mengeluarkan dalam
Shahih -nya (8/667) tentang tafsir ayat ini, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu, bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata,
ثُمَّ
صَارَتْ الأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوْحٍ فِي العَرَبِ
بَعْدُ. أَمَّا وَدُّ كَانَتْ لِكَلْبِ بِدَوْمَةِ الجَنْدَلِ, وَأَمَّا
سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ, وَأَمَّا يَغُوْثُ فَكَانَتْ لِمُرَادِ ثُمَّ
لِبَنِي غَطِيْفِ بِالجَوْفِ ثُمَّ سَبَأَ, وَأَمَّا يَعُوْقُ فَكَانَتْ
لِهَمْدَانِ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرِ لآِلِ ذِي الكَلاَعِ
أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِيْنَ مِنْ قَوْمِ نُوْحٍ فَلَمَّا هَلَكُوْا
أَوْحَى الشَيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصَبُوْا إِلَى مَجَالِسِهِمْ
الَّتِي كَانُوْا يَجْلِسُوْنَ أَنْصَابًا وَسَمُّوْهَا بِأَسْمَائِهِمْ
فَفَعَلُوْا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَى إِذَا هَلَكَ أُوْلَئِكَ وَتَنْسَخُ
العِلْمُ عُبِدَتْ
“Kemudian jadilah patung-patung yang ada pada kaum Nabi Nuh
‘alaihis salam disembah di Jazirah Arab setelahnya. Adapun Wadd adalah
patung kepunyaan Kalb di Daumatul Jundal. Adapun Suwa` adalah patung
kepunyaan Hudzail. Adapun Yaghuts adalah patung kepunyaan Muradi yang
kemudian untuk Bany Ghathif di daerah Jauf kemudian Saba`. Adapun Ya ’uq
adalah patung kepunyaan Hamdan. Adapun Nasr adalah patung kepunyaan
Himyar khususnya keluarga Dzil Kala’. (Kelima nama ini) adalah nama
orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Maka tatkala
mereka (orang-orang shalih) itu wafat, syaithan mempengaruhi kaum Nabi
Nuh agar membuat patung-patung pada majelis-majelis mereka yang mereka
biasa duduk padanya (dalam rangka mengingat mereka), dan (syaithan juga
mempengaruhi mereka) agar mereka menamakan patung-patung terrsebut
dengan nama-nama orang shalih tersebut. Maka mereka pun (kaum Nuh)
melakukannya. Dan ketika itu mereka (patung-patung itu) belum disembah.
Akan tetapi, tatkala orang-orang yang membuat patung tersebut telah
meninggal dan ilmu agama telah hilang, maka patung-patung itu pun
disembah .
” (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat ini).
Yang dimaksud dengan
berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih adalah mengangkat mereka pada kedudukan yang tidak ada yang boleh mendudukinya kecuali Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yakni
istighatsah tatkala terkena kesusahan atau tatkala ditimpa bencana,
tawaf di kuburan mereka,
tabarruk
‘mencari berkah’ dari barang-barang peninggalan mereka, menyembelih di
kuburan-kuburan mereka dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada
mereka, meminta pertolongan kepada mereka padahal mereka telah
meninggal, dan lain-lain.
Telah terjadi pula pada umat ini, seperti apa yang terjadi pada umat Nabi Nuh
‘alaihis salam, tatkala syaithan menampakkan kepada kebanyakan orang bahwa
ghuluw
‘berlebih-lebihan’ dan bid’ah-bid’ah adalah pengagungan dan bukti
kecintaan terhadap orang-orang shalih. Kemudian syaithan memengaruhi
kebanyakan orang tersebut agar membangun kuburan-kuburan orang-orang
shalih itu, i’tikaf di situ dan menganggap berdoa di tempat itu
diterima. Kemudian meningkat lagi ke bentuk keharaman yang lebih tinggi,
bahkan sampai kepada kesyirikan, seperti berdoa dan bertawassul kepada
orang-orang shalih itu. Kemudian berpindah lagi kepada tingkatan yang
lebih tinggi, yaitu mengajak manusia untuk beribadah kepada
kuburan-kuburan tersebut, dalam bentuk menjadikan hari-hari tertentu
sebagai hari peringatan untuk mengunjungi kuburan-kuburan tersebut dan
melaksanakan ibadah-ibadah tertentu padanya. Kalau semua hal di atas
telah tetap dan mendarah daging, berpindah lagi kepada yang lebih jelek
yaitu, meyakini bahwasanya barangsiapa yang melarang perbuatan-perbuatan
seperti itu, maka sesungguhnya dia adalah orang yang merendahkan
derajat serta membenci para wali. Kebanyakan orang tersebut meyakini
bahwa orang yang melarang perbuatan mereka adalah orang yang tidak
memiliki penghormatan, pemuliaan dan pengakuan terhadap kedudukan para
wali tersebut. Keyakinan ini telah menghunjam kuat di dalam hati
orang-orang awam yang bodoh, bahkan orang-orang yang dianggap mempunyai
ilmu agama, sehingga mereka memusuhi ahli tauhid dan menggelarinya
dengan gelar-gelar yang buruk yang menyebabkan manusia lari dari ahli
tauhid tersebut. Mereka memusuhi ahli tauhid dengan mengatasnamakan
kecintaan dan pengagungan kepada orang-orang shalih, padahal mereka itu
berdusta, karena mencintai orang-orang shalih hakikatnya adalah sejalan
dan sesuai dengan
Al-Kitab dan Sunnah menurut pemahaman para
Salaf Ash-Shalih. Adapun caranya adalah dengan mengetahui keutamaan-keutamaan
Salaf Ash-Shalih tersebut dan mencontoh amalan-amalan shaleh mereka, tanpa meremehkan atau bersikap berlebih-lebihan terhadap mereka. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang, yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshar), berdoa, ‘Wahai Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.’.” [
Al-Hasyr: 10 ]
Ta’ashshub (Fanatik) Terhadap Peninggalan Nenek Moyang Walaupun Itu Bathil dan Menyelisihi yang Haq Khususnya Dalam Masalah Aqidah
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pun
sebagai pemberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan orang-orang
yang hidup mewah (para pembesar) di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya
kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’.” [
Az-Zukhruf: 23 ]
Tetapi hujjah mereka ini dalam mengikuti nenek moyang telah terbantah oleh firman Allah lainnya,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka
itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [
Al-Baqarah: 170 ]
Keyakinan inilah yang merasuk dan tertanam dalam jiwa-jiwa kaum
musyrikin dari dahulu hingga sekarang, sehingga mereka menentang dakwah
para Nabi dan orang-orang yang mengikutinya, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta ’ala tentang kaum Nabi Nuh
‘alaihis salam,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu
ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, (karena) sekali-kali tidak ada
Tuhan bagi kalian selain Dia. Maka mengapa kalian tidak bertakwa
(kepada-Nya)?’ Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya
menjawab, ‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang
bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kalian. Dan
kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat.
Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek
moyang kami yang dahulu.’.” [
Al-Mu`minun: 23-24 ]
Lihat pula keadaan kaum Nabi Shalih
‘alaihis salam,
“Kaum Tsamud berkata, ‘Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini
adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang
kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?’.” [
Hud: 62 ]
Juga perhatikan kaum Nabi Ibrahim ‘
alahis salam,
“Mereka menjawab, ‘(Bukan karena itu) sebenarnya. Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian.” [
Asy-Syu’ara`: 74 ]
kemudian tentang orang-orang musyrikin Arab dan yang mengikuti mereka hingga kini yang berkata kepada Rasulullah, Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dan orang-orang yang mengikuti beliau,
“Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata),
‘Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini
benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal
(mengesakan Allah) ini dalam agama yang terakhir. Hal ini tidak lain
hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” [
Shad: 6-7 ]
Namun perlu diketahui, bahwa perbuatan mengikuti nenek moyang kadang
terpuji bila nenek moyang tersebut berada di atas kebenaran,
sebagaimana Nabi Yusuf mengikuti nenek moyangnya,
“
Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishaq,
dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Allah.” [
Yusuf: 38 ]
Senada pula dengannya surah Ath-Thur ayat 21.
Kejahilan atau Kebodohan Terhadap Aqidah yang Benar
Hal ini disebabkan oleh keengganan untuk mempelajari aqidah yang
benar dan mengajarkannya, atau sangat sedikitnya perhatian dan
pemeliharaan terhadapnya sehingga melahirkan generasi yang tidak
mengenal aqidah yang benar atau tidak mengenal hal-hal yang menyelisihi
dan membatalkannya, sehingga pada akhirnya dia meyakini yang batil itu
haq dan yang haq itu batil, sebagaimana perkataan Umar Ibnu Khaththab
radhiyallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya akan dicabut nilai-nilai keislaman sedikit demi sedikit
jika di dalam Islam tumbuh dan berkembang orang-orang yang tidak
mengenal jahiliyah.” Kebodohan ini merata dan merajalela di
tengah-tengah masyarakat Islam. Di antara kebodohan tersebut misalnya
pemahaman terhadap tauhid yang hanya terbatas pada tauhid
Rububiyah saja,
seperti anggapan bahwa orang-orang musyrik dahulu dikatakan musyrik
karena mereka meyakini patung-patungnya mampu menciptakan, memberi
rezeki, memberi manfaat dan mudarat. Anggapan ini adalah asal kesesatan
mayoritas manusia, yang sebab mendasar dari tersebarnya pemahaman ini di
kalangan manusia adalah filsafat Yunani yang tercela dan orang-orang
yang mengambil ilmu dari mereka dari ahli kalam yang mereka itu
memusatkan perhatian dalam menafsirkan kalimat tauhid dengan tafsiran
tauhid
Rububiyah saja.
Yang haq, tidak ada keraguan padanya, dijadikan dasar penerapan oleh
seluruh ulama, dan sesuai dengan penjelasan Al Qur`an adalah bahwasanya
orang-orang musyrik dahulu pada zamannya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meyakini Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki mereka. Mereka menetapkan tauhid
Rububiyah
dalam perbuatan-perbuatan Allah, yaitu mencipta, memberi rezeki,
mengatur urusan, menghidupkan, mematikan, dan sebagainya, yang mereka
tidak meyakini sedikit pun adanya sesuatu yang menyamai Allah dalam
perbuatan-perbuatan tersebut. Itulah yang dinamakan oleh para ulama
sebagai tauhid
Rububiyah. Akan tetapi mereka tidak mentauhidkan
Allah dalam perbuatan-perbuatan mereka, yakni berdoa, meminta
pertolongan, mengharap, menyembelih, bernadzar, dan sebagainya, yang
para ulama menamakannya sebagai tauhid
Uluhiyah atau tauhid Ibadah.
Untuk memperjelas masalah ini, perhatikanlah beberapa ayat dalam Al
Qur`an yang menjelaskan dengan berbagai macam pendalilan yang
menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin menetapkan tauhid
Rububiyah sementara kesyirikan mereka adalah dalam tauhid
Uluhiyah.
Jenis pertama , ayat-ayat yang menjelaskan tentang penetapan mereka terhadap tauhid
Rububiyah.
Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari
langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah,
‘Mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?’.” [
Yunus: 31 ]
Kemudian firman-Nya,
“Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada
padanya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan
Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kalian tidak ingat?’ Katakanlah,
‘Siapakah Rabb
-nya langit yang tujuh dan Rabb
-nya `Arsy
yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka
apakah kalian tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya
berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi
tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kalian
mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah,
‘(Kalau demikian), maka bagaimana kalian bisa tertipu/tersihir?’.” [
Al-Mu`minun: 84-89 ]
Lihat pula surah Al-Ankabut: 61-63, Luqman: 25, dan Az-Zumar: 38.
Ayat-ayat tersebut menggambarkan keyakinan orang-orang musyrikin
Arab dahulu dan orang-orang musyrik selain mereka yang menetapkan tauhid
Rububiyah, kemudian, dengan mengambil konsekuensi dari pengakuan mereka terhadap tauhid
Rububiyah, mereka dipojokkan dengan pertanyaan tentang pengingkaran mereka terhadap tauhid
Uluhiyah.
Lalu bagaimana dengan orang yang mengingkari tentang hal ini dan
mengatakan bahwasanya orang-orang musyrikin tidak menetapkannya padahal
Allah telah menceritakan penetapan mereka di dalam Al-Qur`an .
Jenis kedua , ayat-ayat yang menjelaskan persaksian mereka tentang adanya sembahan-sembahan selain Allah.
Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
“Katakanlah, ‘ Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’ Katakanlah, ‘
Allah.’ Dia menjadi saksi antara aku dan kalian. Dan Al Qur`an ini
diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepada
kalian dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur`an (kepadanya). Apakah
sesungguhnya kalian mengakui bahwasanya ada sembahan-sembahan yang lain
di samping Allah? Katakanlah, ‘ Aku tidak mengakui.’ Katakanlah, ‘
Sesungguhnya Dia adalah sembahan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan (dengan Allah).’.” [
Al-An’am: 19 ]
Ayat yang mulia ini memberikan faidah bahwasanya orang-orang musyrikin mempersaksikan bahwasanya Allah adalah
Ilah
(sesembahan) mereka, akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya bersama
Allah ada sembahan-sembahan yang lain. Persaksian mereka ini dikuatkan
dengan sumpah, penguat dengan kata
anna dan huruf
lam. Maka lafadz
ma’a pada firman Allah,
أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ ءَالِهَةً أُخْرَى , menunjukkan bahwasanya mereka menetapkan
Rububiyah Allah dan sekaligus
Uluhiyah-nya, akan tetapi mereka menjadikan bersama Allah
ilah-ilah yang lain. Maka kesyirikan mereka dari sisi penyekutuan mereka kepada
ilah-ilah bersama Allah yang mereka menghadap kepada
ilah-ilah
itu dengan menjadikannya sebagai perantara untuk menghubungkan mereka
kepada Allah, menyampaikan hajat dengan berdoa kepada mereka. Ini adalah
keyakinan dan agama mereka. Makna seperti ini terdapat di dalam Al
Qur`an dalam ayat-ayat yang banyak, di antaranya firman Allah dalam
beberapa ayat,
“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang
menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu
kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu
menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang
lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang
(dari kebenaran). Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai
tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan
yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan
suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada sembahan
(yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak
mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang berada
dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan
kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?
Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu
mengingati(Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di
daratan dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai
kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah
ada sembahan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka
persekutukan (dengan-Nya). Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari
permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang
memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Apakah di samping
Allah ada sembahan (yang lain)? Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti
kebenaran kalian, jika kalian memang orang-orang yang benar.’.” [
An-Naml: 60-64 ]
Lihat pula surah Al-Hijr: 95-96.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al Qur`an apa yang diyakini oleh orang-orang musyrikin bahwasanya bersama Allah ada
ilah-ilah (sembahan) yang lain. Mereka menetapkan
Rububiyah Allah dan
Uluhiyah-Nya akan tetapi menjadikan bersama-Nya
ilah-ilah
yang lain dalam beribadah. Siapa yang memperhatikan dan mentadabburi
ayat-ayat yang mulia ini, maka akan dibukakan baginya pintu-pintu ilmu
yang membawanya kepada pemahaman yang shahih tentang aqidah yang shahih.
Jenis ketiga , ayat-ayat yang berisi pengakuan dan penetapan mereka atas kesyirikan mereka.
Di antaranya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
“Akan berkata orang-orang musyrikin, ‘Seandainya Allah
menginginkan, maka kami tidak akan berbuat kesyirikan dan tidak pula
bapak-bapak kami, dan tidak pula mengharamkan sesuatu apapun.’.” [
Al-An’am: 148 ]
Ayat ini memberikan faidah bahwasanya mereka menetapkan pada diri
mereka kesyirikan dalam ibadah. Mereka mengakui dirinya berbuat
kesyirikan dalam
Uluhiyah-Nya Allah pada saat mereka menetapkan
Rububiyah-Nya.
Jenis keempat , ayat-ayat yang menggambarkan bahwa terjadinya kesyirikan mereka adalah di saat senang/lapang.
Di antaranya firman Allah,
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah
dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya; maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, seketika mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah).” [
Al-‘Ankabut: 65 ]
Perhatikan pula ayat yang semakna dengannya dalam surah Luqman: 32.
Kemudian firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
“Dialah Tuhan yang menjadikan kalian dapat berjalan di daratan,
(berlayar) di lautan. Sehingga apabila kalian berada di dalam bahtera,
dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya
dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya,
datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru
menimpa mereka, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya),
maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah hanya
kepada-Nya. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan
kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang
bersyukur.’.” [
Yunus: 22 ]
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan dalam ayat-ayat di atas bahwasanya orang-orang musyrikin, yang mendustakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
dan memerangi beliau, tidak berbuat kesyirikan kecuali dalam keadaan
lapang dan senang dan bukan dalam keadaan susah atau tertimpa bencana
dan kesulitan. Mereka pada saat seperti itu mengikhlaskan agama hanya
kepada Allah, tidak berdoa kepada selain-Nya dan tidak mengambil
perantara antara dirinya dengan Allah. Maka bagaimana dengan orang yang
mengatakan bahwasanya orang-orang kafir itu musyrik dalam
Rububiyah
Allah tidak dalam ibadah kepada-Nya. Apakah mungkin mereka itu berdoa
dalam keadaan ikhlas ketika ditimpa bencana kalau mereka tidak meyakini
Rububiyah dan
Uluhiyah-Nya?
Jenis kelima , ayat-ayat yang menggambarkan penetapan mereka terhadap tauhid
Rububiyah dan kesyirikan mereka dalam tauhid
Uluhiyah:
Di antaranya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah,
melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan
lain).” [
Yusuf: 106 ]
Iman mereka kepada Allah
Subhanahu wa Ta ’ala adalah ucapan
mereka bahwasanya Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, serta yang
mematikan dan menghidupkan mereka. Selain itu, kesyirikan mereka adalah
tatkala mereka menjadikan bagi Allah serikat dalam ibadah dan berdoa
kepada-Nya. Maka mereka tidak mengikhlaskan bagi-Nya dengan meminta
hanya kepada-Nya. Demikianlah tafsir ayat di atas menurut para ahli
tafsir, yakni Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, Qatadah, Atha’, dan selain
mereka. (Lihat
Tafsir Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim tentang ayat ini).
Adapun dalil-dalil dari
As-Sunnah yang menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin menetapkan tauhid
Rububiyah adalah:
Pertama, hadits Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam Shahih Muslim (2/4),
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يُغِيْرُ
إِذَا طَلَعَ الفَجْر,ُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ. فَإِنْ سَمِعَ
أَذَانًا أَمْسَكَ, وَإِلاَّ أَغَارَ. فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُوْلُ : الله
أكبر الله أكبر. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : عَلَى
الفِطْرَةُ. ثُمَّ قَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ. فَنَظَرُوْا فَإِذَا هُوَ رَاعِيُ مُعْزِى.
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
menyerang jika telah terbit fajar, dan beliau menunggu adzan. Kalau
mendengar adzan, beliau menahan (tidak menyerang), dan kalau tidak,
beliau menyerang. Lalu beliau mendengar seseorang mengatakan , ‘ Allahu Akbar
, Allahu Akbar
,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan , ‘ Di atas fitrah.’ Kemudian orang tadi berkata, ‘ Asyhadu alla ilaha illallah
, Asyhadu alla ilaha illallah
,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ‘
Kamu selamat dari neraka.’ Kemudian para shahabat melihat ternyata orang
itu hanyalah seorang pengembala kambing.”
Sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, “
Di atas fitrah”, kepada orang yang berkata, “
Allahu akbar”, memberikan faidah bahwasanya perkataan orang ini dan apa yang ditunjukkannya berupa makna
Rububiyah
adalah merupakan suatu fitrah yang telah tetap bagi manusia, oleh sebab
itu Rasulullah belum menghukuminya sebagai orang yang selamat dari
neraka dan sebagai orang Islam kecuali setelah ucapannya, “
Asyhadu alla ilaha illallah”, syahadat yang mengandung pengingkaran kepada seluruh yang disembah selain Allah, dan itulah tauhid
Uluhiyah.
Kedua, dalam
Shahih Muslim (15/11 serta
Syarh An-Nawawy ) dari hadits ‘Amr Ibnu Asy-Syarid, dari bapaknya
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
رَدِفْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمًا فَقَالَ : هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةِ بْنِ أَبِي الصَّلْتَ
شَيْئًا ؟ قُلْتُ : نعم. قَالَ : هِيْهِ, فَأَنْشَدَتْهُ بَيْتًا فَقَالَ :
هيه, ثُمَّ أَنْشَدَتْهُ بَيْتًا فَقَالَ : هيه حتى أنشدته مِائَةَ بَيْتٍ
“Saya membonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
pada suatu hari, kemudian beliau berkata, ‘Apakah kamu menghafal
sesuatu dari sya’ir ‘Umayyah Ibnu Abi Ash Shalt?’ Saya menjawab, ‘Iya.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata lagi,
‘Perdengarkan!’ Maka saya pun memperdengarkan satu bait sya’ir. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Tambah
lagi,’ maka saya menambah lagi satu bait. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Tambah lagi,’ sampai
saya membawakan 100 bait.”
Dalam riwayat yang lain, dari riwayat ‘Abdurrahman Ibnu Mahdy, ada tambahan
“Dan sungguh-sungguh hampir dia (masuk) Islam karena sya’irnya.”
Maka perhatikan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, “
Dan sungguh-sungguh hampir dia (masuk) Islam karena sya’irnya”, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
tidak menghukumi baginya Islam dengan sekedar tauhidnya bahwasanya
Allah pencipta, menghidupkan dan mematikan dan sebagainya, dan dia
(‘Umayyah bin Abi Ash-Shalt) termasuk orang-orang kafir yang ada pada
zamannya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Berkata Imam An-Nawawy, “Nabi meminta tambahan dari syair-syairnya karena di dalamnya terkandung penetapan terhadap
Rububiyah Allah dan hari kebangkitan.”
Sya’ir-sya’ir yang menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin Arab menetapkan tauhid
Rububiyah semata di antaranya
Sya’ir ‘Umayyah bin Abi Ash-Shalt,
الْحَمْدُ للهِ مَمْسَانَا وَمَصْبَحِنَا بِالخَيْرِ صَبَّحَنَا رَبِّي وَ مَسَّانَا
رَبِّ الحَنَفِيَّةِ لَمْ تَنْفُدْ خَزَائِنُهَا مَمْلُوْءَةً طِبْقَ الْآفَاقِ أَشْطَانَا
أَلاَّ نَبِيَّ لَنَا مِنَّا فَيُخْبِرُنَا مَا بَعْدَ غَايَتِنَا مِنْ رَأْسٍ هُجْرَانَا
Segala puji bagi Allah di waktu petang dan pagi
Dengan kebaikan Rabb
-ku di waktu pagi dan petang
Tuhan yang Maha Hanif
tidak pernah habis perbendaharaannya
Selalu penuh, memenuhi seluruh ufuk luasnya
Kenapa bukan Nabi dari kami yang mengabarkan kepada kami
Apa tujuan kami yang sebenarnya berpindah
Disarikan dari sumber-sumber berikut:
- Al-Irsyad Ila Tashih Al-I’tiqad karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
- Hadzihi Mafahimuna karya Syeikh Dr. Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh
- At-Ta’liqat ‘ Ala Kasyf Asy-Syubhat karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
- Kitab At-Tauhid Li As–Shaff Al-Awwal Ats-Tsanawy . cet. Wizaratul Ma’arif
Sumber :http://an-nashihah.com