

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

•Apa hukum telor? HALAL
•Apa hukum tepung? HALAL
•Apa hukum gula? HALAL
•Apa hukum air ? HALAL
Nah kumpulan 4 bahan jadilah MARTABAK.
•Apa hukum tepung? HALAL
•Apa hukum gula? HALAL
•Apa hukum air ? HALAL
Nah kumpulan 4 bahan jadilah MARTABAK.
Jika mereka ditanya:
● Apa hukum baca Al-Qur’an? Sunnah
● Apa hukum baca sholawat: Sunnah
● Apa hukum membaca siroh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: Sunnah
● Apa hukum mendengar ceramah agama: Sunnah
Lah 4 perkara tersebut ada di dalam MAULID.
● Apa hukum baca Al-Qur’an? Sunnah
● Apa hukum baca sholawat: Sunnah
● Apa hukum membaca siroh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: Sunnah
● Apa hukum mendengar ceramah agama: Sunnah
Lah 4 perkara tersebut ada di dalam MAULID.
Martabak boleh koq maulid gak boleh?



تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ


Perlu diperhatikan dua keadaan:
1. Barangsiapa mencampurkan dengan ‘adonan’ lain terhadap agama maka dia telah berbuat bid’ah.
2. Barangsiapa membuat ‘cara-cara tertentu’ dalam membuat ‘adonan’ maka dia juga telah berbuat bid’ah, walau dia masih menggunakan ‘adonan’ yang berasal dari agama.

1) Bid’ah ashilyyah atau haqiqiyyah, yaitu bid’ah yang tidak berdasar dalil sama sekali, tidak dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan istidlal yang diakui (mu’tabar) oleh ahli ilmu, tidak secara global maupun terperinci, oleh karenanya dinamakan bid’ah, karena merupakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya [Lihat Al-I’tishom, Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah, 1/367]
Contoh bid’ah ashliyyah atau haqiqiyyah adalah lafaz-lafaz dzikir dan shalawat yang sama sekali tidak berdasarkan dalil, seperti shalawat naariyyah, shalawat badar, dan lain-lain.
2) Bid’ah idhafiyyah (yang disandarkan), adalah sesuatu yang memiliki dua sisi, di satu sisi sesuai sunnah karena berdasarkan dalil, di sisi yang lain merupakan bid’ah karena tidak berdasarkan dalil [Lihat Al-I’tishom, Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah, 1/367, 445]
Contohnya adalah, lafaz-lafaz dzikir atau shalawat yang berdasarkan dalil, namun dalam pelaksanaannya terdapat kebid’ahan.
Seperti ucapan tahlil: Laa Ilaaha Illallah, tidak diragukan lagi ini adalah lafaz dzikir yang disyari’atkan, namun jika seseorang menentukan jumlah tertentu yang tidak ditentukan oleh syari’ah, seperti 1000 kali dalam sehari maka penentuan jumlah ini adalah bid’ah karena tidak berdasarkan dalil.
Bid’ah maulid termasuk jenis bid’ah idhafiyyah walau kenyataannya juga terdapat banyak bid’ah haqiqiyyah dalam perayaan maulid.

Letaknya adalah pada pengkhususan hari tertentu sebagai hari yang selalu dirayakan berulang-ulang tanpa ada dalil. Untuk memahami lebih detail masalah ini silakan baca: http://sofyanruray.info/mengapa-perayaan-hari-besar-selain-idul-adha-dan-idul-fitri-termasuk-bidah/
Jadi bid’ah maulid bukan pada baca Al-Qur’an, shalawat, sirah atau ceramah, tapi pada penentuan hari yang selalu dirayakan tanpa dalil.
Dan ternyata, dalam maulid itu juga terdapat bid’ah-bid’ah lain yang termasuk bid’ah haqiqiyyah, seperti menciptakan bacaan-bacaan shalawat sendiri, berdiri ketika membaca bagian tertentu dengan keyakinan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah hadir, membaca hadits-hadits lemah dan palsu terkait sirah beliau, dan masih banyak lagi.

1. Sebab melakukan ibadah. Sholat tahajjud disunnahkan. Andai seseorang sholat tahajjud dengan sebab malam Isra’ Mi’raj maka sholatnya menjadi bid’ah, karena tidak ada dalil yang menunjukkan disunnahkan sholat karena bertepatan dengan malam tersebut.
2. Jenis, seperti jenis hewan yang disyari’atkan untuk kurban. Berkurban disyari’atkan dengan jenis hewan unta, sapi dan kambing. Andai seseorang berkurban dengan kuda atau ayam, maka kurbannya menjadi bid’ah.
3. Bilangan (ketentuan jumlah). Berdzikir disyari’atkan. Andai seseorang menentukan jumlah khusus seperti 1000 kali dalam sehari tanpa adanya dalil, maka dzikirnya menjadi bid’ah.
4. Tata cara (kaifiyyah) beribadah. Sholat 5 waktu telah ditentukan caranya. Andai seseorang menciptakan cara-cara tersendiri maka sholatnya menjadi bid’ah.
5. Waktu beribadah. Hari ‘ied (hari yang selalu dirayakan atau diperingati secara berulang-ulang) telah ditentukan dalam syari’at yaitu Idul Adha dan Idul Fitri. Andai seseorang menambah-nambah hari di hari ‘ied yang lain di waktu yang lain, maka ia telah berbuat bid’ah. Demikian pula haji telah ditentukan waktunya, andai seseorang berhaji di luar bulan-bulan haji maka hajinya menjadi bid’ah.
6. Tempat ibadah. Haji dan umroh diwajibkan. Andaikan seseorang melakukan haji dan umroh di selain baitullah atau tempat-tempat yang telah ditentukan, maka haji dan umrohnya menjadi bid’ah.
Jadi, tidak cukup lafaz dzikir dan shalawat yang sesuai dalil, keenam sisi ini pun harus sesuai dalil, jika tidak maka menjadi bid’ah [Lihat Al-Ibda’ fi Kamaal As-Syar’i wa Khatharil Ibdtida’, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 21-23]

Padahal yang dilarang adalah kaifiyyah yang salah atau penentuan bilangan atau penentuan waktu khusus yang tidak berdasarkan dalil.
Dan jawaban yang paling tepat atas tuduhan tersebut adalah ucapan seorang pembesar tabi’in yang mulia, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah.

أنه رأى رجلا يصلي بعد طلوع الفجر أكثر من ركعتين يكثر فيها الركوع والسجود فنهاه فقال : يا أبا محمد ! أيعذبني الله على الصلاة ؟ ! قال : لا ولكن يعذبك على خلاف السنة


وهذا من بدائع أجوبة سعيد بن المسيب رحمه الله تعالى وهو سلاح قوي على المبتدعة الذين يستحسنون كثيرا من البدع باسم انها ذكر وصلاة ثم ينكرون على أهل السنة إنكار ذلك عليهم ويتهمونهم بأنهم ينكرون الذكر والصلاة ! ! وهم في الحقيقة إنما ينكرون خلافهم للسنة في الذكر والصلاة ونحو ذلك

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
══════ ❁✿❁ ══════






