Minggu, 27 Desember 2015

Jawaban Ilmiah untuk Kaidah Martabakiyah

📝 Jawaban Ilmiah untuk Kaidah Martabakiyah 📚
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
➡ Dalam kaidah martabakiyah dikatakan:
•Apa hukum telor? HALAL
•Apa hukum tepung? HALAL
•Apa hukum gula? HALAL
•Apa hukum air ? HALAL
Nah kumpulan 4 bahan jadilah MARTABAK.
Jika mereka ditanya:
● Apa hukum baca Al-Qur’an? Sunnah
● Apa hukum baca sholawat: Sunnah
● Apa hukum membaca siroh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: Sunnah
● Apa hukum mendengar ceramah agama: Sunnah
Lah 4 perkara tersebut ada di dalam MAULID.
Martabak boleh koq maulid gak boleh?
📝 Jawab:
✅ Pertama: Karena agama bukan adonan makanan, agama adalah kumpulan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan Pemahaman Salaf. Selain itu adalah kesesatan.
➡ Rasulullah shallalallahu’alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
🌴 “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian masih berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.” [HR. Malik dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Shahihul Jaami': 2937]
✅ Kedua: Kapan dihukumi satu amalan termasuk bid’ah?
Perlu diperhatikan dua keadaan:
1. Barangsiapa mencampurkan dengan ‘adonan’ lain terhadap agama maka dia telah berbuat bid’ah.
2. Barangsiapa membuat ‘cara-cara tertentu’ dalam membuat ‘adonan’ maka dia juga telah berbuat bid’ah, walau dia masih menggunakan ‘adonan’ yang berasal dari agama.
➡ Agar dapat memahami masalah ini, ulama membagi bid’ah itu menjadi dua bentuk:
1) Bid’ah ashilyyah atau haqiqiyyah, yaitu bid’ah yang tidak berdasar dalil sama sekali, tidak dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan istidlal yang diakui (mu’tabar) oleh ahli ilmu, tidak secara global maupun terperinci, oleh karenanya dinamakan bid’ah, karena merupakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya [Lihat Al-I’tishom, Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah, 1/367]
Contoh bid’ah ashliyyah atau haqiqiyyah adalah lafaz-lafaz dzikir dan shalawat yang sama sekali tidak berdasarkan dalil, seperti shalawat naariyyah, shalawat badar, dan lain-lain.
2) Bid’ah idhafiyyah (yang disandarkan), adalah sesuatu yang memiliki dua sisi, di satu sisi sesuai sunnah karena berdasarkan dalil, di sisi yang lain merupakan bid’ah karena tidak berdasarkan dalil [Lihat Al-I’tishom, Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah, 1/367, 445]
Contohnya adalah, lafaz-lafaz dzikir atau shalawat yang berdasarkan dalil, namun dalam pelaksanaannya terdapat kebid’ahan.
Seperti ucapan tahlil: Laa Ilaaha Illallah, tidak diragukan lagi ini adalah lafaz dzikir yang disyari’atkan, namun jika seseorang menentukan jumlah tertentu yang tidak ditentukan oleh syari’ah, seperti 1000 kali dalam sehari maka penentuan jumlah ini adalah bid’ah karena tidak berdasarkan dalil.
Bid’ah maulid termasuk jenis bid’ah idhafiyyah walau kenyataannya juga terdapat banyak bid’ah haqiqiyyah dalam perayaan maulid.
➡ Di mana letak bid’ah maulid?
Letaknya adalah pada pengkhususan hari tertentu sebagai hari yang selalu dirayakan berulang-ulang tanpa ada dalil. Untuk memahami lebih detail masalah ini silakan baca: http://sofyanruray.info/mengapa-perayaan-hari-besar-selain-idul-adha-dan-idul-fitri-termasuk-bidah/
Jadi bid’ah maulid bukan pada baca Al-Qur’an, shalawat, sirah atau ceramah, tapi pada penentuan hari yang selalu dirayakan tanpa dalil.
Dan ternyata, dalam maulid itu juga terdapat bid’ah-bid’ah lain yang termasuk bid’ah haqiqiyyah, seperti menciptakan bacaan-bacaan shalawat sendiri, berdiri ketika membaca bagian tertentu dengan keyakinan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah hadir, membaca hadits-hadits lemah dan palsu terkait sirah beliau, dan masih banyak lagi.
✅ Ketiga: Untuk mengetahui bid’ah idhafiyyah dapat dilihat dari enam sisi:

1. Sebab melakukan ibadah. Sholat tahajjud disunnahkan. Andai seseorang sholat tahajjud dengan sebab malam Isra’ Mi’raj maka sholatnya menjadi bid’ah, karena tidak ada dalil yang menunjukkan disunnahkan sholat karena bertepatan dengan malam tersebut.
2. Jenis, seperti jenis hewan yang disyari’atkan untuk kurban. Berkurban disyari’atkan dengan jenis hewan unta, sapi dan kambing. Andai seseorang berkurban dengan kuda atau ayam, maka kurbannya menjadi bid’ah.
3. Bilangan (ketentuan jumlah). Berdzikir disyari’atkan. Andai seseorang menentukan jumlah khusus seperti 1000 kali dalam sehari tanpa adanya dalil, maka dzikirnya menjadi bid’ah.
4. Tata cara (kaifiyyah) beribadah. Sholat 5 waktu telah ditentukan caranya. Andai seseorang menciptakan cara-cara tersendiri maka sholatnya menjadi bid’ah.
5. Waktu beribadah. Hari ‘ied (hari yang selalu dirayakan atau diperingati secara berulang-ulang) telah ditentukan dalam syari’at yaitu Idul Adha dan Idul Fitri. Andai seseorang menambah-nambah hari di hari ‘ied yang lain di waktu yang lain, maka ia telah berbuat bid’ah. Demikian pula haji telah ditentukan waktunya, andai seseorang berhaji di luar bulan-bulan haji maka hajinya menjadi bid’ah.
6. Tempat ibadah. Haji dan umroh diwajibkan. Andaikan seseorang melakukan haji dan umroh di selain baitullah atau tempat-tempat yang telah ditentukan, maka haji dan umrohnya menjadi bid’ah.
Jadi, tidak cukup lafaz dzikir dan shalawat yang sesuai dalil, keenam sisi ini pun harus sesuai dalil, jika tidak maka menjadi bid’ah [Lihat Al-Ibda’ fi Kamaal As-Syar’i wa Khatharil Ibdtida’, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 21-23]
➡ Maka termasuk kesalahan pelaku bid’ah, ketika ia dilarang melakukan dzikir atau shalawat dengan kaifiyah tertentu atau menentukan bilangan tertentu atau waktu tertentu tanpa adanya dalil, ia pun mengatakan, “Anda melarang dzikir atau melarang shalawat”.
Padahal yang dilarang adalah kaifiyyah yang salah atau penentuan bilangan atau penentuan waktu khusus yang tidak berdasarkan dalil.
Dan jawaban yang paling tepat atas tuduhan tersebut adalah ucapan seorang pembesar tabi’in yang mulia, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah.
➡ Al-Imam Al-Baihaqi Asy-Syafi’i rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang shahih sampai kepada Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah,
أنه رأى رجلا يصلي بعد طلوع الفجر أكثر من ركعتين يكثر فيها الركوع والسجود فنهاه فقال : يا أبا محمد ! أيعذبني الله على الصلاة ؟ ! قال : لا ولكن يعذبك على خلاف السنة
🌴 “Bahwasannya beliau melihat seseorang melakukan sholat setelah terbit fajar lebih dari dua raka’at, ia memperbanyak rukuk dan sujud, beliau pun melarangnya, maka orang itu berkata: wahai Abu Muhammad, apakah Allah ta’ala akan mengazabku karena melakukan sholat? Beliau menjawab: Tidak, tetapi Allah Ta’ala akan mengazabmu karena menyelisihi sunnah.”
➡ Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengomentari,
وهذا من بدائع أجوبة سعيد بن المسيب رحمه الله تعالى وهو سلاح قوي على المبتدعة الذين يستحسنون كثيرا من البدع باسم انها ذكر وصلاة ثم ينكرون على أهل السنة إنكار ذلك عليهم ويتهمونهم بأنهم ينكرون الذكر والصلاة ! ! وهم في الحقيقة إنما ينكرون خلافهم للسنة في الذكر والصلاة ونحو ذلك
🌴 “Ini diantara bentuk cerdasnya jawaban-jawaban Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, dan jawaban ini merupakan senjata yang kuat untuk menghadapi para pelaku bid’ah yang menganggap baik (hasanah) terhadap banyak sekali perbuatan bid’ah, dengan dalih (bukan dalil, pen) amalan itu merupakan dzikir dan sholat. Lalu mereka mengingkari Ahlus Sunnah yang melarang bid’ah mereka, dan mereka menuduh Ahlus Sunnah melarang dzikir dan sholat, padahal hakikatnya yang diingkari adalah penyelisihan mereka terhadap sunnah dalam dzikir dan doa tersebut, dan amalan-amalan yang semisalnya.” [Irwaul Ghalil, 2/236]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
══════ ❁✿❁ ══════
➡ Bergabunglah dan Sebarkan Dakwah Sunnah Bersama⤵
📡Markaz Ta’awun Dakwah & Bimbingan Islam:
📮Join Channel Telegram: http://goo.gl/6bYB1k
📲Gabung Group WA: 08111377787
🌍www.facebook.com/taawundakwah
🌐www.taawundakwah.com

Senin, 20 April 2015

SUJUD SAHWI

Di Tulis Oleh Al ustadz Abu Utsman Kharisman

Apakah yang Dimaksud dengan Sujud Sahwi?

Jawab:

 Sujud sahwi adalah dua kali sujud (baik sebelum atau setelah salam) yang dilakukan karena lupa melakukan sesuatu bacaan atau gerakan dalam sholat yang disyariatkan atau ragu dalam sholat (seperti ragu tentang jumlah rokaat).

Apakah hukum sujud sahwi?

Jawab:

Para Ulama’ sepakat bahwa sujud sahwi adalah disyariatkan.

Namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya dalam 3 hal utama:

a) Wajib, menurut pendapat al-Hanafiyah.
b) Sunnah (mustahab), menurut pendapat al-Malikiyyah dan Asy-Syafiiyah, namun menjadi wajib bagi makmum jika Imam melakukannya.
c) Kadangkala hukumnya wajib, mustahab, dan mubah (boleh), tergantung apa yang terlupa dilakukan dalam sholat, menurut al-Hanaabilah. Jika yang terlupakan adalah termasuk kewajiban sholat, maka hukumnya wajib. (disarikan dari al-Fiqhu ‘alal madzaahibil arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziiri juz 1 halaman 706).
Dalam hal ini pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa hukum sujud sahwi sesuai dengan apa yang terlupa dalam sholat. Jika yang terlupa adalah kewajiban, maka hukum sujud sahwi adalah wajib. Wallaahu A’lam.

Dalam keadaan bagaimana seseorang disyariatkan untuk melakukan sujud sahwi?

 Jawab:

Disyariatkan sujud sahwi jika terlupa dalam hal : penambahan, kekurangan, atau ragu dalam sholat. Jika penambahan dan pengurangan dilakukan secara sengaja, maka sholatnya batal, tidak bisa diganti dengan sujud sahwi (Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin).

Sujud sahwi dilakukan baik di dalam sholat wajib maupun sholat sunnah sesuai keumuman dalil yang ada.

Apakah Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah lupa dalam sholat?

Jawab:

Ya, beliau juga pernah lupa dalam sholatnya dan melakukan sujud sahwi. Terdapat beberapa keadaan yang diriwayatkan tentang hal itu:

a). Sholat 5 rokaat yang semestinya 4 rokaat (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud).

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَلَمَّا سَلَّمَ قِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ وَمَا ذَاكَ قَالُوا صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ
“ Sesungguhnya Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam sholat dzhuhur 5 rokaat, ketika selesai salam ditanyakan kepada beliau: Apakah sholat ditambah? Nabi menyatakan: Ada apa? Para Sahabat berkata: Anda telah sholat 5 rokaat. Maka beliau sujud dua kali sujud” (Muttafaqun ‘alaih).

b). Sholat 2 rokaat yang semestinya 4 rokaat (H.R alBukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنْ اثْنَتَيْنِ فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ
“Sesungguhnya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam berpaling (salam) pada 2 rokaat, kemudian Dzul Yadain berkata: ‘Apakah sholat diqoshor atau anda lupa, wahai Rasulullah?’. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apakah Dzul Yadain benar? Para Sahabat berkata: Ya. Maka bangkitlah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian sholat 2 rokaat yang lain kemudian salam, kemudian takbir kemudian sujud seperti sujud sebelumnya atau lebih lama, kemudian beliau mengangkat kepalanya” (lafadz sesuai riwayat alBukhari).

c). Sholat 3 rokaat yang semestinya 4 rokaat (H.R Muslim dari ‘Imron bin Hushain).

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْخِرْبَاقُ وَكَانَ فِي يَدَيْهِ طُولٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَكَرَ لَهُ صَنِيعَهُ وَخَرَجَ غَضْبَانَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى النَّاسِ فَقَالَ أَصَدَقَ هَذَا قَالُوا نَعَمْ فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sholat ashr, kemudian beliau salam pada rokaat ke-3 kemudian masuk rumahnya, maka bangkitlah seseorang yang disebut al-Khirbaaq yang memiliki tangan panjang. Maka ia berkata: Wahai Rasulullah…kemudian disebutkan apa yang dilakukan Nabi. Maka beliau kemudian keluar (seperti terlihat marah) menarik selendangnya sampai (di hadapan) manusia. Kemudian beliau bertanya: ‘Apakah lelaki ini benar?’Para Sahabat menjawab: ya. Maka kemudian Nabi sholat satu rokaat, kemudian salam, kemudian sujud 2 kali sujud, kemudian salam” (H.R Muslim).

d). Meninggalkan tasyahhud awal pada sholat Dzuhur (Muttafaqun ‘alaih dari Abdullah bin Buhainah).

صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ مِنْ بَعْضِ الصَّلَوَاتِ ثُمَّ قَامَ فَلَمْ يَجْلِسْ فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ وَنَظَرْنَا تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ قَبْلَ التَّسْلِيمِ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ ثُمَّ سَلَّمَ
“Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sholat bersama kami 2 rokaat, kemudian bangkit tidak duduk (tasyahhud). Maka manusiapun turut berdiri bersama beliau. Ketika menyelesaikan sholatnya dan kami menunggu salam, beliau bertakbir sebelum salam kemudian sujud dua kali sujud dalam keadaan duduk, kemudian salam”(Muttafaqun ‘alaih).

(disarikan dari Shahih Fiqhis Sunnah juz 1 halaman 460-461 karya Abu Malik Kamaal bin as-Sayyid Saalim).

Apakah sujud sahwi dilakukan sebelum atau setelah salam?

Jawab:

Sujud sahwi ada yang dilakukan sebelum salam dan ada yang dilakukan setelah salam. Namun, para Ulama’ sepakat bahwa seandainya seseorang melakukan sujud sahwi sebelum salam padahal seharusnya setelah salam, atau sebaliknya, maka sholatnya sah, hanya saja ia meninggalkan keutamaan (Taudhiihul Ahkaam syarh Buluughil Maroom karya Syaikh Aalu Bassaam juz 2 halaman 21).

I). Dilakukan sebelum salam, jika:

a) ada kekurangan, terlewatkan dalam mengerjakan rukun atau kewajiban sholat.
Untuk rukun sholat, jika terlewatkan takbiratul ihram, sholatnya tidak sah. Namun jika terlewatkan rukun sholat yang lain, terdapat perincian:

Jika seseorang tersebut teringat ketika masih belum masuk pada rokaat selanjutnya, maka segera ia lakukan rukun yang tertinggal tersebut dan melakukan gerakan/bacaan sholat lanjutannya.

Jika seseorang tersebut teringat ketika sudah masuk pada rokaat selanjutnya, maka rokaat yang sedang dilakukan itu adalah pengganti bagi rokaat yang rukunnya terlewat, kemudian nantinya sujud sebelum salam.

Seseorang yang melewatkan salah satu kewajiban sholat, misalnya tasyahhud awal, maka ia nantinya sujud sahwi sebelum salam (sebagaimana hadits dari Abdullah bin Buhainah riwayat alBukhari –Muslim di atas).

b) ragu dalam jumlah rokaat dan tidak bisa menentukan mana yang lebih kuat.
     Dalam hal ini diambil hal yang meyakinkan (jumlah rokaat yang paling sedikit), kemudian   nantinya sujud sahwi sebelum salam.

II) Dilakukan setelah salam, jika:
a) ada penambahan gerakan, bacaan, atau rokaat dalam sholat.
Dalam kondisi demikian seseorang menyempurnakan sholatnya sampai salam, kemudian sujud sahwi. Misalkan, seseorang sholat 5 rokaat yang seharusnya 4 rokaat, maka ia sempurnakan sholat sampai salam, kemudian sujud sahwi, kemudian salam lagi.

b)salam sebelum waktunya, maka ia lakukan kekurangan sholatnya tersebut sampai salam, kemudian sujud sahwi.

c) Ragu dalam jumlah rokaat, namun mampu memilih sesuatu yang lebih diyakini. Dalam hal ini, ia lakukan sholat secara sempurna sampai salam, kemudian sujud sahwi.
Apa keutamaan sujud sahwi?

Jawab:

a) Menjalankan Sunnah Nabi, sehingga bisa mendatangkan kecintaan dan ampunan dari Allah
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“ Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S Ali Imran: 31).

b) Menghinakan syaitan:
…كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
“…dua sujud itu adalah penghinaan bagi syaitan (H.R Muslim).

c) Dua kali sujud menambah 2 derajat dan menghapus 2 kesalahan.
فَإِنَّكَ لَا تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلَّا رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“…karena tidaklah engkau melakukan satu kali sujud karena Allah kecuali Allah akan angkat dengannya 1 derajat dan menghapus darimu 1 kesalahan”(H.R Muslim)

Apakah bacaan yang dibaca pada waktu sujud sahwi?

Jawab:

Imam Ahmad berpendapat bahwa bacaan dalam sujud sahwi adalah sebagaimana bacaan sujud dalam sholat, hal ini karena tidak ada hadits shohih yang mengkhususkan bacaan tertentu dalam sujud sahwi.

Bagaimana tata cara sujud sahwi?

Jawab:

Sujud sahwi dilakukan dengan cara dua kali sujud yang dipisahkan dengan duduk di antara 2 sujud, pada tiap-tiap perpindahan gerakan mengucapkan takbir, kemudian diakhiri dengan salam. Sama saja apakah sujud sahwi dilakukan sebelum atau setelah salam sholat.

Jika seseorang lupa dalam sholat sunnah, apakah disyariatkan juga sujud sahwi?

Jawab:

Ya, sujud sahwi juga disyariatkan pada sholat sunnah (Majmu’ Fataawa Syaikh Bin Baaz juz 30 halaman 13).

Jika Imam lupa melakukan suatu amalan yang dianggapnya sunnah, sedangkan makmum menganggap bahwa itu wajib, dan Imam tidak sujud sahwi, apakah makmum wajib sujud sahwi?

Jawab:

Makmum tidak wajib sujud sahwi dalam kondisi semacam itu.

Contohnya, seperti Imam lupa tidak tasyahhud awal, dan ia berpendapat bahwa itu adalah sunnah (bukan wajib) sebagaimana pendapat Ulama Syafiiyyah, sedangkan makmum menganggap itu adalah wajib. Di akhir sholat Imam tidak sujud sahwi. Dalam kondisi semacam itu, menurut penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin, makmum tidak wajib untuk sujud sahwi, karena ia terikat dengan sholatnya dengan Imam, sedangkan Imam tidak melakukan suatu kekurangan (kewajiban yang ia yakini), dan makmum diperintahkan untuk mengikuti Imam. (disarikan dari asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu Utsaimin (3/391)).

Apakah makmum masbuq juga disyariatkan melakukan sujud sahwi?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin menjelaskan bahwa jika sujud sahwi dilakukan sebelum salam, makmum masbuq masih bisa mengikutinya. Namun jika sujud sahwi dilakukan setelah salam, makmum masbuq tidak bisa mengikutinya bersamaan dengan Imam. Apakah kemudian makmum masbuq setelah salam nanti juga sujud sahwi? Dalam hal ini ada perincian:

a) Jika makmum masbuq mengikuti imam pada saat sholat di bagian yang imam lupa padanya, maka makmum masbuq juga sujud sahwi nantinya setelah ia salam.
b) jika imam lupa dalam sholatnya yang mengharuskan sujud sahwi namun pada saat itu makmum masbuq belum terlibat dalam sholat jamaah, maka makmum masbuq nantinya tidak perlu sujud sahwi ( Liqaa’ Baab al-Maftuuh –seri tanya jawab dengan Syaikh al-Utsaimin- juz 188 halaman 10)
Seseorang yang bangkit sebelum tasyahhud, apa yang harus dilakukan?

Jawab:

Dalam hal ini ada 2 kemungkinan:

a) Ia belum sempurna tegak berdiri, maka sebaiknya ia kembali duduk tasyahhud, nantinya ia tidak perlu sujud sahwi.
إِذَا سَهَا الْإِمَامُ فَاسْتَتَمَّ قَائِمًا فَعَلَيْهِ سَجْدَتاَ السَّهْوِ وَإِذَا لمَ ْيَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلاَ سَهْوَ عَلَيْهِ
“ Jika Imam lupa sehingga sempurna berdirinya, maka baginya harus melakukan 2 sujud sahwi, jika belum sempurna berdiri, maka tidak ada (sujud) sahwi baginya” (H.R atThobarony, dishahihkan al-Albany).

b) Sudah sempurna berdiri, maka hendaknya ia teruskan (sebagaimana hadits pada poin a) dan nantinya sebelum salam ia lakukan sujud sahwi.
Bagaimana tata cara sujud sahwi bagi orang yang ragu dalam sholatnya?

Jawab:

Seseorang yang ragu dalam sholat ada 2 kemungkinan:

a) Ia tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, dalam hal ini ia pilih jumlah rokaat yang paling sedikit (hal yang jelas diyakini), kemudian nantinya sujud sahwi sebelum salam.
Misalkan, ia ragu apakah sudah sholat 2 rokaat atau 3 rokaat, namun 2 kemungkinan tersebut tidak bisa dirajihkan, ia tidak bisa memilihnya, maka ia ambil yang 2 rokaat, kemudian menyempurnakan sisa rokaat, dan sujud sahwi sebelum salam.

b) Ia bisa memilih mana yang lebih kuat, maka seharusnya ia ambil jumlah yang ia anggap meyakinkan, kemudian menyempurnakan sholatnya dengan salam, setelah salam sujud sahwi.
Contoh: seseorang yang ragu apakah sudah sholat 2 atau 3 rokaat, namun ia lebih cenderung yakin pada yang 3 rokaat, maka ia anggap dirinya telah mengerjakan 3 rokaat, selanjutnya ia sempurnakan sholatnya sampai salam, kemudian dia sujud sahwi, kemudian salam lagi.

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
“ Jika seseorang ragu dalam sholatnya kemudian dia tidak tahu apakah dia sholat 3 atau 4 rokaat, maka hendaknya ia lemparkan keraguan itu dan membangun di atas keyakinan, kemudian sujud dua kali sujud sebelum salam. Jika ternyata ia sholat 5 rokaat, sujud itu menggenapkan sholatnya. Jika sholat sempurna 4 rokaat, 2 sujud itu adalah penghinaan terhadap syaitan” (H.R Muslim dari Abu Sa’id al-Khudry) (Lihat Risalah fi Sujuudis Sahwi karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin)

wa al ‘itishom

Jumat, 13 Februari 2015

Budaya Islami untuk Si Buah Hati


 السلام عليكم ورحمة الله و بركاته


Kehadirannya senantiasa didamba. Betapa anak telah menjadi bagian jiwa setiap orang tua. Wajar jika segala upaya dicurahkan demi si anak. Sejak janin mengisi rahim sang ibu, beragam upaya bahkan ritual demi keselamatan sang calon bayi, sudah mengiringi perjalanan hidupnya. Sayangnya, kita demikian lekat dengan tradisi atau adat kebiasaan yang diwarisi dari agama selain Islam, sementara terhadap ajaran Islam kita justru masih demikian asing. Contoh sederhana, banyak orang yang dengan segala cara – termasuk berutang – menyelenggarakan beragam ritual pada masa kehamilan, selamatan kelahiran, selapanan (35 hari), dan sebagainya, namun meninggalkan akikah dengan alasan ketiadaan biaya. Banyak juga di antara kita yang mencukupkan diri dengan membagi-bagikan roti/cake dengan alasan kepraktisan, kemewahan, atau adu gengsi – yang tentunya dengan biaya yang tidak sedikit – kemudian meninggalkan akikah sama sekali.

kue-pizza

Yang lebih parah, ada yang getol menyelipkan ritual tertentu dengan dalih “ikhtiar”, namun faktanya justru mencemari akidah. Padahal yang namanya ikhtiar, harus nyambung dengan tujuan yang ingin dicapai, bukan mewujud pada ritual kesyirikan atau keyakinan/takhayul tertentu.

kado-ultah

Belum lagi perayaan ulang tahun yang mengiringi setiap tahunnya. Acara-acara itu walaupun dinamai “syukuran” tetapi tetaplah bukan tradisi Islam, setidaknya menghambur-hamburkan uang. Syukuran bertambahnya usia tidaklah diwujudkan dengan seremoni tertentu, tapi rasa syukur itu tertuang dalam kalbu, ucapan, dan perbuatan kita. Bagaimana acara itu dimaknai sebagai syukuran, jika kita malah memaksa diri menyelenggarkannya di restoran (mewah), ditambah lagi, di dalam pesta ulang tahun sendiri terangkum banyak kemungkaran dan kemaksiatan. Kemudian setelah acara itu, kita tidak menjadi pribadi yang bersyukur, malah mudah mengeluh, selalu berburuk sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tambah bermaksiat, dan sebagainya.

Bersyukur terhadap karunia dan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala semestinya dilakukan setiap saat, bukan hanya pada momen-momen tertentu. Tidak hanya ketika usia kandungan menginjak bulan tertentu, tidak hanya setiap ulang tahun, dan sebagainya. Namun, kita benar-benar menghabiskan seluruh lembaran sisa hidup untuk melukis rasa syukur kita.

batu

Karena itu, mari kita gunting lembar kejahilan dari buku hidup kita, jangan kita terus terperangkap dalam jeruji tradisi yang tidak islami. Jangan sampai buah hati kita terdidik sejak kecil untuk melakukan amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya dalam agama kita. Sudah semestinya kita mentradisikan Islam, bukan “mengislamkan” tradisi lebih-lebih memberhalakan tradisi yang tidak islami.

 Wallahu a’lam.

والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Sumber: Majalah  Asy syariah edisi 096

Rabu, 11 Februari 2015

SEPUTAR VALENTINE’S DAY (Fatwa-Fatwa Ulama dalam Menyikapinya)

Saudara pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua..
Jauh dari ilmu agama dan cinta terhadap dunia beserta segenap perhiasannya, adalah dua sebab mendasar yang membuat kaum muslimin semakin jauh dari agamanya. Di sisi lain arus deras dari kebudayaan barat (baca: kafir) terus merongrong umat ini, dengan embel-embel modernisasi, intelektual, aspiratif, dan lain sebagainya. Sehingga membuat segala sesuatunya (cara makan, gaya busana, pola hidup bermasyarakat, bahkan dalam berpolitik), baik atau tidaknya diukur dari budaya barat.
Dalam kondisi seperti inilah umat Islam yang ‘semakin minder’ dengan agamanya sangat mudah dipengaruhi, diombang-ambingkan, ikut-ikutan semata, bagaikan asap yang terbang mengikuti arah angin berhembus. Valentine’s Day misalnya, tidak sedikit dari kaum muslimin terkhusus kalangan remajanya ikut larut dalam perayaan ini, meski tidak tahu-menahu hakikat sebenarnya dari perayaan tersebut (lihat Al-Ilmu edisi 6/ II/ VII/ 1430).
Risalah ini kami tujukan kepada para muda-mudi umat Islam yang masih sayang pada dirinya, juga untuk para orang tua yang kelak (di yaumul akhir) akan ditanya tentang kepemimpinannya (terhadap keluarganya), juga untuk para pendidik yang masih peduli dengan adab dan akhlak anak didiknya, dan segenap kalangan yang masih mencintai Islam ini sebagai agamanya.
Berikut ini kami sampaikan fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah berkaitan dengan Valentine’s Day.
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
Beliau ditanya: Telah banyak tersebar baru-baru ini perayaan Valentine’s Day (‘Idul Hubb) -terkhusus di kalangan pelajar putri- itu merupakan salah satu hari raya orang-orang Kristen. Pada hari itu mode dan pakaian serba merah semua, baik pakaian maupun sepatu. Mereka saling tukar/menghadiahkan bunga berwarna merah. Kami mohon penjelasan tentang hukum perayaan seperti ini, dan bimbingan untuk kaum muslimim dalam permasalahan ini? Semoga Allah senantiasa menjaga dan memelihara anda.
Jawaban: Merayakan Valentine’s Day dilarang karena beberapa sebab:
1. Hal tersebut merupakan perayaan bid’i (yang diada-adakan) tidak ada dasarnya dalam syari’ah.
2. Dapat mengantarkan kepada kecintaan dan birahi.
3. Hal tersebut menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara yang rendah dan menyelisihi bimbingan as-salafush shalih radhiyallaahu’anhum.
Maka tidak diperbolehkan pada hari tersebut melakukan syi’ar-syi’ar hari raya Valentine’s Day sedikit pun, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah, dan yang lainnya. Wajib atas setiap muslim untuk merasa mulia dengan agamanya dan tidak bersikap oportunis dengan gampang mengikuti setiap seruan.
Saya mohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, dan agar Dia melindungi kami dengan perlindungan dan taufiq-Nya.
[Majmu’ Fatawa wa Rasail ibni ‘Utsaimin XVI/124]
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
Lajnah ditanya: Pada tanggal 14 Februari setiap tahun masehi sebagian orang merayakan hari kasih sayang yang dikenal dengan Valentine’s Day. Pada hari itu mereka saling memberi hadiah bunga mawar merah, memakai baju merah, dan saling memberikan ucapan selamat. Demikian juga pabrik-pabrik permen, membuat permen dengan warna merah dan membuat gambar hati padanya. Tidak ketinggalan juga sebagian toko mempromosikan barang-barang khas hari tersebut. Bagaimana pendapat anda:
1. Merayakan hari tersebut?
2. Membeli dari toko-toko pada hari tersebut?
3. Para pemilik toko yang tidak ikut merayakan hari tersebut tetapi menjual kepada orang yang hendak membeli hadiah pada hari tersebut?
Jazaakumullahu khairan (semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas anda semua dengan kebaikan)
Jawaban: Dalil-dalil yang tegas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus kesepakatan para Salaful Ummah, bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Adapun hari raya selain kedua hari tersebut, baik perayaan berkenaan dengan seseorang, kelompok, peristiwa, atau makna apapun, maka itu merupakan hari raya yang diada-adakan dalam agama. Tidak boleh bagi pemeluk agama Islam untuk merayakannya, menyetujuinya, ataupun menampakkan kegembiraan terhadap hari tersebut, serta tidak boleh pula membantu (perayaan tersebut) sedikitpun. Karena perbuatan tersebut termasuk melanggar batasan-batasan Allah subhanahu wa ta’ala, dan barang siapa yang melanggar batasan-batasan Allah subhanahu wa ta’ala maka dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Berikutnya, disamping ia perayaan yang diada-adakan dalam agama, ia juga merupakan hari rayanya orang kafir, maka itu dosa di atas dosa. Karena pada perbuatan tersebut terdapat unsur tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir dan loyalitas kepada mereka.
Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kaum mukminin dari perbuatan tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan Allah subhanahu wa ta’ala juga melarang kaum muslimin dari berloyalitas kepada mereka dalam kitab-Nya yang mulia.
Telah pasti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.” [HR. Abu Dawud no. 4031, Ahmad II/50]
Valentine’s Day termasuk jenis yang dimaksudkan di atas, karena ia termasuk hari raya watsaniyyah (paganisme/para penyembah berhala) nashraniyyah. Maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim yang telah menyatakan diri beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir untuk ikut merayakan hari raya tersebut, atau menyetujuinya, atau turut mengucapkan selamat. Sebaliknya, wajib atasnya untuk meninggalkan dan menjauhinya dalam rangka memenuhi perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, serta menjauhi sebab-sebab yang mendatangkan kemurkaan dan adzab Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian juga haram atas seorang muslim untuk turut membantu/berpartisipasi pada hari perayaan tersebut ataupun hari raya kafir/bid’ah terlarang lainnya, dalam bentuk apapun, baik makanan, minuman, jual beli, produksi, hadiah, kartu-kartu ucapan selamat, iklan, atau yang lainnya. Karena itu semua merupakan bentuk kerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan, serta bentuk kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Tolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah (takutlah) kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Keras adzab-Nya.” (Al-Maidah: 2)
Wajib atas setiap muslim untuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam semua kondisinya, terutama ketika fitnah dan kerusakan banyak bermunculan. Wajib atasnya untuk jeli berpikir dalam rangka waspada dari terjatuh dalam kesesatan umat yang dimurkai (Yahudi) dan umat yang tersesat (Nashrani), dan orang fasik yang tidak percaya akan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak peduli sama sekali terhadap Islam. Wajib atas setiap muslim untuk kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan memohon hidayah-Nya dan keteguhan diri di atasnya. Karena sesungguhnya tidak ada yang memberi hidayah dan mengokohkannya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.
Wabillahi taufiq, washallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa’ala alihi wa sallam.
[Fatwa No. 21203]
Fatwa ini ditandatangani oleh: Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Asy-Syaikh (Ketua), Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid (Anggota), Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (Anggota), dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan (Anggota).
Mengapa Kaum Muslimin Tidak Boleh Merayakan Valentine’s Day?
Sebagian kaum muslimin yang ikut merayakannya mengatakan bahwa Islam juga mengajak kepada kecintaan dan kedamaian. Dan Hari Kasih Sayang adalah saat yang tepat untuk menyebarkan rasa cinta di antara kaum muslimin. Sehingga apa yang menghalangi untuk merayakannya?
Jawaban terhadap pernyataan ini dari beberapa sisi:
1. Hari Raya Dalam Islam Telah Ditentukan
Hari raya dalam Islam adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hari raya merupakan salah satu syi’ar yang sangat agung. Sedangkan dalam Islam, tidak ada hari raya kecuali hari Jum’at, Idul Fithri, dan Idul Adha. Perkara ibadah harus ada dalilnya. Tidak boleh seseorang membuat hari raya sendiri yang tidak disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Berdasarkan hal ini, perayaan Hari Kasih Sayang ataupun selainnya yang diada-adakan adalah perbuatan mengada-adakan (bid’ah) dalam agama, menambahi syariat, dan bentuk koreksi terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang menetapkan syariat.
2. Tasyabbuh Terhadap Orang-orang Kafir.
Perayaan Hari Kasih Sayang merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) bangsa Romawi paganis, juga menyerupai kaum Nashrani yang meniru mereka (Romawi), padahal ini tidak termasuk (amalan) agama mereka. Ketika seorang muslim dilarang menyerupai kaum Nashrani dalam hal yang memang termasuk agama mereka, maka bagaimana dengan hal-hal yang mereka ada-adakan dan mereka menirunya dari para penyembah berhala?
Seorang muslim dilarang menyerupai orang-orang kafir -baik penyembah berhala atau ahli kitab- baik dalam aqidah, ibadah, maupun dalam adat yang menjadi kebiasan, akhlak, dan perilaku mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali-’Imran: 105)
Dan juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya Telah diturunkan Al Kitab kepadanya, Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan mereka.” [HR. Abu Dawud no. 4031, Ahmad II/50]
Tasyabbuh terhadap orang kafir dalam perkara agama mereka -diantaranya adalah Hari Kasih Sayang- lebih berbahaya daripada menyerupai mereka dalam hal pakaian, adat, atau perilaku. Karena agama mereka tidak terlepas dari tiga hal: yang diada-adakan, atau yang telah dirubah, atau yang telah dihapuskan hukumnya (dengan datangnya Islam). Sehingga tidak ada sesuatupun dari agama mereka yang bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
3. Perayaan Kasih Sayang Untuk Semua Manusia.
Tujuan perayaan Hari Kasih Sayang pada masa ini adalah menyebarkan kasih sayang di antara manusia seluruhnya, tanpa membedakan antara orang yang beriman dengan orang kafir. Hal ini menyelisihi agama Islam. Hak orang kafir yang harus ditunaikan kaum muslimin adalah bersikap adil dan tidak menzhaliminya. Dia juga berhak mendapatkan sikap baik dengan syarat; tidak memerangi atau membantu memerangi kaum muslimin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Bersikap adil dan baik terhadap orang kafir tidaklah berkonsekuensi mencintai dan berkasih sayang dengan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala bahkan memerintahkan untuk tidak berkasih sayang dengan orang kafir dalam firman-Nya:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sikap tasyabbuh akan melahirkan sikap kasih sayang, cinta, dan loyalitas di dalam batin. Sebagaimana kecintaan yang ada di batin akan melahirkan sikap menyerupai.” [Al-Iqtidha': I/490]
4. Kasih Sayang Karena Syahwat.
Kasih sayang yang dimaksud dalam tasyabbuh ini semenjak dihidupkan oleh kaum Nashrani adalah cinta, rindu, dan kasmaran di luar hubungan pernikahan. Buahnya, tersebarnya zina dan kekejian yang karenanya pemuka agama Nashrani -pada waktu itu- menentang dan melarangnya.
Kebanyakan para pemuda muslimin merayakannya pun karena menuruti syahwat dan bukan karena keyakinan khurafat sebagaimana bangsa Romawi dan kaum Nashrani. Namun hal ini tetaplah tidak bisa menafikan adanya sikap tasyabbuh terhadap orang kafir dalam salah satu perkara agama mereka. Selain itu, seorang muslim tidak diperbolehkan menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, yang merupakan pintu menuju zina.
Wallahu ta’ala a’lam bis showab.
Buletin Islam AL ILMU Edisi: 8/II/VIII/1431
Sumber : http://www.buletin-alilmu.com

HUKUM MENIKAH DALAM KEADAAN HAMIL

Tanya:

Bagaimana hukum menikah setelah hamil duluan? Karena saat ini ini marak terjadi di masyarakat.

Jawab:

oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah Akibat pergaulan bebas, tidak ada aturan. Dan yang sangat disayangkan, sebagian orang tua membiarkan hal ini, dibiarkan. Kalau ada teman laki-lakinya yang ingin bertamu ke rumah, maka alasan orang tuanya ke belakang. “Maaf, ada kebutuhan di belakang”. ✌Dia dibiarkan berdua.

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. Tirmidzi, no.2165)

Setan yang bermain di situ, akhirnya terjadi perzinaan, wal’iyadzubillah. Sehingga, tidak sedikit para wanita, mereka dalam kondisi hamil sebelum menikah. Hamil diluar pernikahan, Allahul musta’an. Para wanita yang tidak memelihara kehormatannya, hidup bebas. Mendapatkan godaan dari seorang laki-laki, akhirnya tergoda. Dengan mudahnya dia dipengaruhi. Sehingga dalam keadaan belum menikah dia sudah dalam keadaan hamil. Ini apa hukum menikah dalam keadaan seperti ini? Hukumnya tidak sah.

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS: Ath-Thalaaq Ayat: 4)

Adapun pada saat dia hamil, lalu kemudian dia menikah maka pernikahan itu tidak sah. Pernikahan tersebut adalah pernikahan yang tidak sah. Dan tidak diperbolehkan bagi seorang yang telah mengetahui hukum ini, lalu kemudian dia menikahi seorang wanita yang dalam keadaan hamil. Apabila dia mengetahui hukumnya, lalu dia masa bodo, dan dia tetap menikahi wanita tersebut, maka pernikahannya itu bathil. Sebab wanita itu belum hilang masa iddahnya. Dalam artian dia harus ditunggu sampai melahirkan. Setelah itu dinikahkan. Ada sebagian mengatakan, “ya tapi malu, bagaimana? masa dia hamil dalam keadaan tidak punya suami, malu”.

▪Sudah sejak awal, dia tidak punya rasa malu. Dari awal, dia sudah tidak punya rasa malu. Kenapa dia biarkan dirinya terjerumus ke dalam perbuatan nista seperti itu? Kalau dia punya rasa malu, hendaknya dia memelihara kehormatannya. Apakah setelah kemudian terjadi kecelakaan, lalu kemudian hendak ditutupi rasa malu ini? Lalu kemudian kita melanggar syari’at Allah subhanahu wata’ala? Menikahkan begitu saja dalam keadaan hamil? Sekarang ini subhanallah. Akhirnya semakin maraknya hal ini, sebagian pemuda menganggap enteng permasalahan ini. Orang tua tidak setuju? Gampang. Katanya orang Makassar, silariang. Sudah bawa lari saja sekalian, bawa lari sehari, dua hari, kecelakaan, Allahul musta’an.

Sudah, lalu kemudian menggampangkan permasalahan ini. Orang tuanya ngamuk-ngamuk sementara waktu. Pikirnya seperti itu. Sudah, dinikahkan saja. Menuntut tanggung jawab. Laki-laki ya mau saja dia bertanggung jawab. Tapi tidak seperti itu keadaannya. Tidak seperti itu keadaannya, tidak diperbolehkan. Kecuali apabila dia telah melahirkan. Jika dilakukan dalam keadaan tidak tahu, bagaimana hubungan nasab anak dan ayahnya? Karena yang ana tahu, anak hasil zina dinisbatkan kepada ibunya. Sedangkan dalam kasus tersebut, status anak adalah hasil zina. Tapi yang menikahi ibunya juga ternyata ayah kandungnya? Berbeda halnya apabila seorang tidak mengetahui hukum. Orang tuanya menyangka bahwa itu boleh-boleh saja. Boleh menikahkan anak meskipun dalam keadaan hamil. Berpegang kepada fatwa sebagian ustadz misalnya.

Akhirnya terjadilah pernikahan, anaknya dalam keadaan hamil menikah. Ini apa hukumnya? Maka hukumnya sah, dibangun di atas pengetahuan dia yang jahil ketika itu. Atau ada seorang yang telah memfatwakan kepadanya dengan fatwa tersebut. Maka dibangun di atas hukum yang diyakini ketika itu. Meskipun kita mengatakan, yang shahih dalam permasalahan ini bahwa seorang wanita menikah dalam keadaan hamil hukumnya tidak sah. Makanya kita mengatakan bagi orang yang sudah mengetahui hukum ini, lalu dia melakukannya maka pernikahannya bathil. Tapi seorang misalnya tidak mengetahui, dia menyangka bahwa itu boleh. Mungkin ada yang memfatwakan kepadanya. Maka dibangun di atas persangkaan sebelumnya bahwa yang demikian menurut mereka sebelum itu adalah diperbolehkan. Maka tidak perlu diulangi, sah.

Oleh karena itu, para sahabat yang mereka masuk ke dalam islam, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan kepada mereka untuk mengulangi akad pernikahannya. Tapi dibangun di atas keyakinan mereka dahulu. Keyakinan jahiliyah. Mereka menganggap pada masa itu, pernikahan mereka di masa jahiliyah itu sah, maka itu sah. Padahal kalau kita membaca sejarah pernikahan jahiliyah, macam-macam cara mereka. Dan sekian banyak cara itu tidak sejalan dengan syari’at islam.

✒Akan tetapi nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mempertanyakan itu. Ketika mereka semua masuk ke dalam islam, nabi tidak pernah memerintahkan kepada mereka untuk mengulangi akadnya. Untuk mengulangi akad pernikahan. Dibangun di atas keyakinan mereka dahulu bahwa yang demikian sah. Bahkan ada seorang sahabat (Ghailan As-Tsaqafi) ketika dia masuk islam, datang kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia mengatakan

“Ya rasulullah, saya masuk islam dan saya memiliki sembilan istri, apa yang harus saya lakukan?”

Kata nabi ‘alaihi shallatu wasallam:

“أَمْـسِكَ أَرْبَـعًا , وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ”
“Pertahankanlah istrimu empat saja, dan ceraikan istri-istrimu yang lainnya”. (Riwayat Ahmad, Syafi’i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi)

Rasul tidak mengatakan, lepaskan dulu semua, nanti akad baru. Tidak demikian, maka ini menunjukkan bahwa apa yang diyakini sebelumnya, maka dibangun di atas keyakinan sebelumnya. Adapun status anak tersebut, maka anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya. Anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya. Dia tidak punya ayah, meskipun laki-laki tersebut dia yang melakukannya. Tetap tidak boleh dinisbatkan kepadanya itu ayah. Dinisbatkan kepada ibunya. Karena itu bukan orang tuanya secara syar’i. Bukan orang tuanya secara syar’i. Tetapi tetap tidak diperbolehkan bagi dia untuk menikahi anak tersebut.

Kalau misalnya ada seorang laki-laki, dia berzina dengan seorang wanita. Akhirnya wanita itu melahirkan anaknya dalam keadaan laki-laki ini tidak menikah dengan wanita tersebut. Anaknya ini dewasa akhirnya menjadi remaja, bolehkah laki-laki yang pernah berzina dengan ibunya menikahi anaknya?

Jawabannya tidak boleh, karena itu bagian darinya meskipun tidak berstatus sebagai ayah. Meskipun secara syar’i tidak berstatus sebagai ayah, tapi itu bagian dari dirinya dan tidak diperbolehkan.